Senin, 09 Maret 2009

Sanggupkah Pertamina Berkelas Dunia

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Setiawan bertekad menjadikan perusahaan Minyak dan Gas bumi (Migas) ini berkelas dunia. Keinginan berkelas dunia bukan kali ini disuarakan. Dirut sebelumnya, Ari Soemarno sering menyuarakan keinginan serupa. Sanggupkah Pertamina mewujudkan ambisinya.

Melihat status Pertamina saat ini sebagai Perseroan Terbatas (PT), keinginan ini sangat mungkin dapat diwujudkan. Sedangkan sebelumnya, ketika Pertamina diatur oleh Undang-Undang No. 8 tahun 1971 (UU Pertamina), keberadaannya lebih banyak untuk melayani rakyat.

Pasal 5 UU ini menyebutkan, Tujuan Perusahaan adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan Migas dalam arti seluas-luasnya untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat dan Negara serta menciptakan Ketahanan Nasional. Sedangkan Tugas Perusahaan disebutkan, melaksanakan pengusahaan Migas dengan memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran Rakyat dan Negara. Juga menyediakan dan melayani kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan gas bumi untuk dalam negeri yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah (pasal 13).

Itulah sebabnya, Pertamina lebih kuat di sektor hilir (pengolahan dan perdagangan BBM) ketimbang sektor hulu (eksplorasi dan produksi minyak mentah). Pertamina memiliki 7 (tujuh) kilang BBM dengan kapasitas hampir 1 juta bph (barrel per hari). Lebih dari seratus Depot penyimpanan BBM tersedia di banyak daerah, agar bisa mensuplai seluruh kawasan.

Sedangkan produksi minyak mentah hanya sekitar 130 ribu bph. Bagaimana produksi bisa besar, kalau lapangan eksplorasi yang dikelola merupakan lapangan tua yang umumnya tinggalan Belanda. Tentu saja biaya operasi tinggi, hasil produksi rendah karena sudah melewati masa puncak produksi dan memasuki masa penurunan.

Keberadaan Pertamina saat itu, terasa sekali sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk melayani rakyat. Maka pantas Pertamina dibebani memberikan setoran kepada Kas Negara dalam jumlah cukup besar. Perusahaan harus menyetor enam puluh persen dari perimaan bersih usaha (net operating income) atas hasil operasi perusahaan. Hasil bersih usaha atas hasil Kontrak Production Sharing, juga dikenakan pungutan enam puluh persen.

Bukan hanya itu, sisa hasil bersih (40%) masih dikenai pungutan lagi, berupa deviden sebesar 50%. Hitung-hitung, Pertamina hanya menikmati sisa laba sebesar 20% {(100% - 60% - (50% dari 40%)}.

Ada hal lainnya yang tidak menguntungkan Pertamina, yaitu sistim operasi penyediaan BBM bersubsidi dalam negeri. Polanya adalah Cost and Fee. Berapapun besar biaya operasi dalam menyediakan BBM diganti sepenuhnya oleh pemerintah. Pertamina mendapat upah kecil sebesar US $ 0.5 per barrel, masing-masing untuk mengolah dan mendistribusikan BBM. Jika kurs US $ 1 = Rp. 12.000, maka upah mengolah dan mendistribusikan BBM masing-masing Rp. 37 per liter (1 barrel = 158,9 liter)

Pola ini tidak mendidik, karena semua biaya diganti, maka tidak mendorong untuk beroperasi semakin efisien. Disisi lain, bagian keuntungan dan sisa laba yang terlalu sedikit menyulitkan perusahaan untuk mengembangkan usaha.

KESEMPATAN TERBUKA.

UU Pertamina sudah berakhir kini berganti dengan UU no 22 tahun 2001 (tentang Minyak dan Gas Bumi). Aturan baru ini membuka peluang Pertamina untuk lebih berkembang. Kini Tujuan Pertamina adalah mengusahakan keuntungan berdasakan prinsip pengelolaan perusahaan secara efektif dan efisien. Namun, tetap diminta memberikan kontribusi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

UU baru ini juga membolehkan Pertamina menyelenggarakan usaha dibidang Migas baik di dalam maupun di luar negeri serta kegiatan usaha lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang Migas tersebut.

Sedangkan penyediaan BBM di seluruh wilayah RI, tidak lagi sepenuhnya tugas Pertamina kini sudah menjadi tugas Pemerintah. Adapun pelaksanannya dilakukan oleh Badan Usaha (bisa oleh Pertamina ataupun perusahaan lain) setelah mendapat izin usaha dari Pemerintah.

Pola penyediaan BBM bersubsidi dalam negeri juga berubah. Kini diberlakukan sistim MOPS (Mid Oil Plats Singapore)+ Alpha. Harga BBM bersubsidi yang dijual ke masyarakat, ditentukan berdasarkan harga pasar internasional (Singapura), ditambah Alpha sekian prosen sebagai biaya distribusi dan keuntungan Pertamina. Pola ini cukup menantang Pertamina untuk beroperasi lebih efisien. Jika Pertamina menyediakan BBM lebih mahal dari harga pasar, tentu saja perusahaan merugi. Inilah yang mendorong perusahaan mencari berbagai upaya terobosan agar perusahaan tetap bertahan dan tumbuh berkembang.

DIBELENGGU

Menurut aturan dan sebagaimana layaknya suatu perusahaan, Pertamina hanya melakukan kegiatan usaha yang memberikan keuntungan. Namun, pada kenyatannya Pertamina masih sering ‘dipaksa’ merugi. Setiap kali Pertamina mengusulkan kenaikan LPG, selalu dihalang-halangi malah diminta memperbaki infrastuktur terlebih dahulu. Padahal harga pokok LPG dibawah harga pasar. Selisih harga tidak ditanggung pemerintah sebagai subsidi, melainkan ditanggung sendiri oleh Pertamina sebagai kerugian.

Berjualan BBM bersubsidi pun berpotensi merugikan Pertamina. Pada mulanya Pertamina meminta Alpha sebesar 14%, nyatanya hanya diberi 8%.
Dirut Pertamina sebelumnya, Air Soemarno penah berkeluh kesah mengenai hal ini. Ia mengatakan, selama ini posisi Pertamina kurang menguntungkan karena meskipun aspek regulasi formal sudah cukup mendukung tetapi dalam implementasinya kurang mendukung BUMN migas itu.

Ari memberi contoh, Pertamina mendapatkan tugas mendistribusikan BBM bersubsidi dengan margin ditekan di luar batas yang wajar. "Kami siap melaksanakan tugas mendistribusikan BBM, namun wajib mendapatkan keuntungan yang wajar, jangan margin ditekan serendah-rendahnya dengan alasan efisiensi," katanya.

Dikatakannya, Pertamina siap diaudit jika tidak percaya bahwa biaya distribusi sudah wajar. Bahkan ia menjamin biaya distribusi Pertamina tidak lebih mahal dari negeri tetangga Malaysia, padahal jangkauannya lebih sulit karena berpulau-pulau dan pedalaman.

Ibarat melepas Pertamina ke arena perdagangan bebas, kaki-kakinya masih dibelenggu dan diikat dengan pemberat.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar