Selasa, 03 Maret 2009

Pertamina vs DPR, win-win

Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara PT Pertamina (Persero) dengan DPR RI Komisi VII tanggal 10 Pebruari lalu berlanjut masalah. Sebagian anggota dewan menanyakan pengangkatan Karen Agustiawan sebagai Dirut. Bahkan anggota Dewan Effendi Simbolon menyamakan Karen layaknya satpam.

Atas perlakuan yang tak mengenakkan ini, Sekretaris Perseroan (Sekper) Pertamina, Toharso melayangkan surat kepada Komisi VII. Sekper menyatakan kecewa atas jalanya RDP dan mengajukan keberatan atas perlakuan DPR. Toharso menginginkan, agar rapat DPR menyesuaikan aturan, fokus – tidak melebar kemana-mana.

Toharso bisa merasakan kalau Direksi tak suka diperlakukan ’semena-mena’ oleh DPR. Dirut sebelumnya, Ari Soemarno sering mengemukakan susahnya berhadapan dengan DPR. Pada berbagai kesempaan, Dirut mengatakan, bahwa salah satu tantangan Pertamina saat ini adalah semakin banyak Stakeholder yang harus dihadapi. Salah satunya, ya DPR itu. Bukan hanya dengan Komisi ESDM, tetapi dengan Komisi BUMN dan juga Komisi Anggaran.

Rapat dengan DPR sering menyita waktu, menghabiskan energi dan sering diperlakukan layaknya terdakwa. Ini sering dikemukan kepada lingkungan internal perusahaan, agar para pejabat dan pekerja memahami kondisi yang sedang dihadapi perusahaan dan memacu meningkatkan kinerja.

Saat Ari sebagai Dirut, Toharso sebagai Kepala Divisi Komunikasi. Ia tentu tahu apa yang dirasakan Direksi. Hanya saja, ia tak mempunyai kewenangan berhadapan dengan DPR. Kini setelah menjabat sebagai Sekper, ia merasa berwenang melayangkan surat protes kepada DPR.

Toharso tergolong sukses kariernya dan cepat naik pangkat. Boleh jadi sukses ini didukung pribadinya yang cepat dan berani bertindak, tidak peragu dan percaya diri. Ia cepat mengkalkulasi untung – rugi dan resiko tindaknya yang diputuskan.

Sementara itu, DPR yang merasa sebagai lembaga terhormat, tidak bisa terima kehormatannya diusik, apalagi oleh Sekper yang dianggap bukan petinggi perusahaan. Maka teror dan ancaman ditebar. Meminta agar Direksi yang baru saja dilantik digantikan orang lain, karena dianggap Pertamina tidak bisa diajak kerjasama.

Win - win.
Agar masalah tidak berlarut, diselenggarakan pertemuan klarifikasi (23/2) tidak hanya dihadiri Direksi Pertamina, juga Komisaris Pertamina dan Departemen ESDM. Setelah Dirut Pertamina dengan suara lembut menyampaikan permohonan maaf dan mencabut surat Sekper maka sikap DPR melunak.

Sebagai sebuah BUMN tentu saja Pertamina tidak ada maksud dan tidak akan pernah melecehkan DPR. Hanya saja, selama ini Pertamina merasa banyak direpotkan oleh DPR pada berbagai pertemuan dan kunjungan ke daerah.

Pada suatu ketika, DPR berkunjung ke Pertamina Dumai. Di kota ini terdapat pabrik pengolahan minyak mentah menjadi Bahan Bakar Minyak. Selaku tuan rumah.
Manajemen Unit Pengolahan Pertamina yang ada di kota ini berusaha bertindak sebaik mungkin. General Manajer dan seluruh jajaran Pengolahan dihadirkan pada pertemuan ini. Kepala Cabang Pemasaran Dumai ikut hadir. General Manajer Pemasaran yang berkedudukan di Medan tidak hadir, karena tujuan kunjungan adalah Unit Pengolahan Dumai.

Pertemuan berjalan lancar. Keperluan DPR untuk mendapat informasi berkaitan dengan perminyakan di Dumai, dapat dipenuhi. Namun, karena GM Pemasaran tidak hadir, maka DPR tidak bisa terima. DPR melayangkan surat kepada Dirut Pertamina, karena GM Pemasaran absen.

Disamping itu, kunjungan ke Pertamina di daerah lebih banyak merepotkan dibanding hasil yang diperoleh. Daftar pertanyaan yang diajukan sepertinya ’copy paste’, sebagian besar pertanyaan merupakan kebijakan Pertamina Pusat. Pantas saja, pertamina di Daerah tidak bisa menjawab. Padahal menerima kunjungan cukup merepotkan. Harus menguruskan perjalanan dan akomodasi dan berbagai keperluan lain.

Adanya surat Sekper yang cukup berani ini, setidaknya mengingatkan lembaga tinggi ini agar tidak ’semena-mena’. Pada pertemuan klarifikasi, beberapa anggota Komisi VII merasa perlu mawas diri atas kejadian ini. Hendarso Hadipramono dari FPDIP, merasa malu ada masalah seperti ini. ”Saya melihat ada kemauan dari Pertamina untuk menyelesaikan persoalan dengan Komisi VII. Saya kira kita semua di Komisi ini ingin selesai, malu kita ada masalah seperti ini”, katanya.

Anggota Komisi VII lainnya, Royani Haminullah mengatakan, persoalan ini dianggap selesai dengan pencabutan surat oleh Pertamina. Namun diingatkan, kejadian ini harus menjadi bahan koreksi di internal DPR.

Anggota komisi VII Nazaruddin Keimas mengatakan, seluruh anggota Komisi VII harus mawas diri mengapa Pertamina sampai mengirimkan surat pernyataan kecewa ”Ini warning bagi kita semua. Jadi sebelum Bu Karen berlapang dada meminta maaf, kita juga harus introspeksi hal-hal yang memungkinkan timbulkan kejadian seperti ini, terangnya.
Wakil Ketua Komisi VII Sutan Bhatougana menegaskan, pernyataan klarifikasi Pertamina sudah cukup. Yang lebih substansial, forum RDP ke depan harus lebih efektif. ”Ini pelajaran bagi kita bersama”, ujarnya.

Pertamina lega, keinginan diperlukan sebagai mitra yang sejajar akhirnya didengar. DPR juga tidak kehilangan ’kehormatannya’, karena Pertamina mencabut suratnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar