Jumat, 27 Maret 2009

SPBU ASING MARAK

Perusahaan perminyakan asal Perancis, Total, ikut meramaikan bisnis pompa bensin di Indonesia. Dua buah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dioperasikan di Jakarta Barat dan Jakarta selatan (23/3). Retail BBM ini merupakan langkah awal mengembangkan bisnisnya di Indonesia.. Perusahaan yang semula dikenal bergiat di bidang hulu (eksplorasi), mengoperasikan ladang besar di Kalimantan Timur, kini sudah memasuki sektor hilir di negara kita. Perusahaan berkelas dunia ini, memiliki 500 SPBU di beberapa Negara.

Sebelumnya, sudah ada dua perusahaan asing yang memasuki sektor hilir Migas di Indonesia. Perusahaan asal Belanda, Shell dan Petronas (Malaysia) juga memiliki SPBU serupa di Jakarta. Shell merencanakan membangun 1000 – 1500 SPBU di Indonesia. Sedangkan Petronas merencanakan 200 – 500 SPBU. Belum diketahui berapa SPBU yang direncanakan oleh Total.

Saat ini, SPBU asing hanya menjual BBM beroctan tinggi sekelas Pertamax untuk konsumsi mobil ber CC besar. Tentu saja ini hanya langkah awal, nantinya mereka bermaksud akan menjual BBM bersubsidi seperti premium dan solar. SPBU asing tak mungkin selamanya mengandalkan hanya berjualan BBM non subsidi, karena konsumennya tidak begitu besar.

Untuk menarik konsumen lokal yang gemar produk impor, SPBU asing ini menawarkan layanan yang memanjakan pembeli. Disamping takaran tepat dan citra yang baik, mereka menawarkan layanan tambahan, seperti keramah tamahan dan lainnya. Jika ambisi mereka berjalan sesuai rencana, maka pangsa pasar Pertamina pada retail BBM tinggal separuhnya.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) sudah beberapa kali menawarkan ke pihak swasta / asing untuk ikut menjual BBM bersubsidi. Karena diwajibkan oleh undang-undang untuk menyediakan sarana penampungan yang mencukupi, beberapa peminat dinyatakan tidak memenuhi syarat. BPH Migas terus mendorong agar pihak swasta dapat ikut ambil ambil pada bisnis retail BBM. Diantaranya dengan membagi wilayah penjualan lebih sempit, agar mudah dimasuki ‘lawan Pertamina’.

Disisi lain, Undang- Undang Migas (UU No.22/2001), mewajibkan perusahaan yang memiliki sarana penampungan membolehkan dipakai oleh pihak lain. Hingga saat ini perusahaan yang memiliki sarana penampungan yang memadai tentu saja hanya Pertamina. UU ini jelas produk bangsa sendiri nyatanya memberi peluang agar asing mudah masuk ke Indonesia dan Pertamina harus mengalah.

Kini giliran Pertamina harus siap menghadapi gempuran asing. SPBU yang ada harus sanggup bersanding dan berhadapan dengan pendatang berkelas dunia.***

Rabu, 25 Maret 2009

Pertamina Itu Besar, Tapi Kecil

PT Pertamina (Persero) tergolong perusahaan besar. Keberadaannya ada dimana-mana, bisa dilihat dari logo perusahaan berupa anak panah ini banyak ditemui di mobil-mobil tangki, Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) dan di banyak tempat lainnya.

Besarnya perusahaan dapat dilihat dari banyaknya asset dan sarana yang tersebar di banyak tempat. Lihat saja lapangan eksplorasinya ada di Region Jawa, Region Sumatera dan Region Kawasan Timur Indonesia. Di sektor hilir (Pengolahan dan distribusi), perusahaan memiliki 7 kilang dengan kapasitas 1 juta bph (barrel per hari), lebih dari 100 depot penimbunan dan 40-an depot pengisian pesawat udara (DPPU). Sedangkan fasilitas retail, SPBU, tersebar di sudut-sudut jalan.

Keperkasaan BUMN penyedia energi ini, juga bisa dilihat dari besarnya pendapatan (tahun 2008 sebesar Rp. 540 triliun). Perolehan laba bersih terus bertambah. Pada tahun 2004 meraih keuntungan Rp. 15.38 triliun. Pada tahun-tahun berikutnya, keuntungan terus meningkat. Tahun 2005 meraih Rp. 16,45, 2006 Rp 19.02 triliun, 2007 Rp. 24.5 triliun dan pada 2008 Rp. 30 triliun.

Namun, jika disandingkan dengan perusahaan minyak nasional dari negara lain, Pertamina terlihat kecil. Menurut analisa konsultan Mc Kinsey, Pertamina di urutan ke 43 dalam hal perolehan laba. Perusahaan minyak dari negara sebelah, Petronas ada di urutan 7, dan PetroChina ada di urutan 5.

Di sector hulu, Pertamina tidak punya posisi kuat dibandingkan dengan perusahaan minyak nasional lain. Produksi minyak Pertamina dikisaran 140 ribu BPH (barrel per hari) dan gas di kisaran 1 juta kaki kubik per hari (MMCF). Kalah jauh dibandingkan dengan Petronas, yang mampu berproduksi minyak di kisaran 600 ribu BPH dan gas mendekati 5 juta MMCF. Dengan PetroChina juga kalah jauh. Perusahaan asal china ini memproduksi minyak di kisaran 2 juta bph dan gas mendekati 3 juta MMCF. Terlebih lagi kalau dibandingkan dengan Saudi Aramco tentu tak tertrandingi. Perusahaan asal Arab Saudi ini menghasilkan minyak mendekati 10 juta BPH dan gas di kisaran 6 juta MMCF.

Merasa posisinya kecil dibandingkan dengan perusahaan lain, tidak menyurutkan tekad Dirut Pertamina, Karen Agustiawan, untuk mewujudkan perusahaan berkelas dunia. Program transformasi yang telah dilakukan Direksi terdahulu tetap dilanjutkan. Dukungan pemerintah dan para stakeholder, tentunya sangat diperlukan. Dengan cara memberikan kesempatan dan berpihak pada perusahaan milik sendiri.***

Senin, 09 Maret 2009

Sanggupkah Pertamina Berkelas Dunia

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Setiawan bertekad menjadikan perusahaan Minyak dan Gas bumi (Migas) ini berkelas dunia. Keinginan berkelas dunia bukan kali ini disuarakan. Dirut sebelumnya, Ari Soemarno sering menyuarakan keinginan serupa. Sanggupkah Pertamina mewujudkan ambisinya.

Melihat status Pertamina saat ini sebagai Perseroan Terbatas (PT), keinginan ini sangat mungkin dapat diwujudkan. Sedangkan sebelumnya, ketika Pertamina diatur oleh Undang-Undang No. 8 tahun 1971 (UU Pertamina), keberadaannya lebih banyak untuk melayani rakyat.

Pasal 5 UU ini menyebutkan, Tujuan Perusahaan adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan Migas dalam arti seluas-luasnya untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat dan Negara serta menciptakan Ketahanan Nasional. Sedangkan Tugas Perusahaan disebutkan, melaksanakan pengusahaan Migas dengan memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran Rakyat dan Negara. Juga menyediakan dan melayani kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan gas bumi untuk dalam negeri yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah (pasal 13).

Itulah sebabnya, Pertamina lebih kuat di sektor hilir (pengolahan dan perdagangan BBM) ketimbang sektor hulu (eksplorasi dan produksi minyak mentah). Pertamina memiliki 7 (tujuh) kilang BBM dengan kapasitas hampir 1 juta bph (barrel per hari). Lebih dari seratus Depot penyimpanan BBM tersedia di banyak daerah, agar bisa mensuplai seluruh kawasan.

Sedangkan produksi minyak mentah hanya sekitar 130 ribu bph. Bagaimana produksi bisa besar, kalau lapangan eksplorasi yang dikelola merupakan lapangan tua yang umumnya tinggalan Belanda. Tentu saja biaya operasi tinggi, hasil produksi rendah karena sudah melewati masa puncak produksi dan memasuki masa penurunan.

Keberadaan Pertamina saat itu, terasa sekali sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk melayani rakyat. Maka pantas Pertamina dibebani memberikan setoran kepada Kas Negara dalam jumlah cukup besar. Perusahaan harus menyetor enam puluh persen dari perimaan bersih usaha (net operating income) atas hasil operasi perusahaan. Hasil bersih usaha atas hasil Kontrak Production Sharing, juga dikenakan pungutan enam puluh persen.

Bukan hanya itu, sisa hasil bersih (40%) masih dikenai pungutan lagi, berupa deviden sebesar 50%. Hitung-hitung, Pertamina hanya menikmati sisa laba sebesar 20% {(100% - 60% - (50% dari 40%)}.

Ada hal lainnya yang tidak menguntungkan Pertamina, yaitu sistim operasi penyediaan BBM bersubsidi dalam negeri. Polanya adalah Cost and Fee. Berapapun besar biaya operasi dalam menyediakan BBM diganti sepenuhnya oleh pemerintah. Pertamina mendapat upah kecil sebesar US $ 0.5 per barrel, masing-masing untuk mengolah dan mendistribusikan BBM. Jika kurs US $ 1 = Rp. 12.000, maka upah mengolah dan mendistribusikan BBM masing-masing Rp. 37 per liter (1 barrel = 158,9 liter)

Pola ini tidak mendidik, karena semua biaya diganti, maka tidak mendorong untuk beroperasi semakin efisien. Disisi lain, bagian keuntungan dan sisa laba yang terlalu sedikit menyulitkan perusahaan untuk mengembangkan usaha.

KESEMPATAN TERBUKA.

UU Pertamina sudah berakhir kini berganti dengan UU no 22 tahun 2001 (tentang Minyak dan Gas Bumi). Aturan baru ini membuka peluang Pertamina untuk lebih berkembang. Kini Tujuan Pertamina adalah mengusahakan keuntungan berdasakan prinsip pengelolaan perusahaan secara efektif dan efisien. Namun, tetap diminta memberikan kontribusi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

UU baru ini juga membolehkan Pertamina menyelenggarakan usaha dibidang Migas baik di dalam maupun di luar negeri serta kegiatan usaha lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang Migas tersebut.

Sedangkan penyediaan BBM di seluruh wilayah RI, tidak lagi sepenuhnya tugas Pertamina kini sudah menjadi tugas Pemerintah. Adapun pelaksanannya dilakukan oleh Badan Usaha (bisa oleh Pertamina ataupun perusahaan lain) setelah mendapat izin usaha dari Pemerintah.

Pola penyediaan BBM bersubsidi dalam negeri juga berubah. Kini diberlakukan sistim MOPS (Mid Oil Plats Singapore)+ Alpha. Harga BBM bersubsidi yang dijual ke masyarakat, ditentukan berdasarkan harga pasar internasional (Singapura), ditambah Alpha sekian prosen sebagai biaya distribusi dan keuntungan Pertamina. Pola ini cukup menantang Pertamina untuk beroperasi lebih efisien. Jika Pertamina menyediakan BBM lebih mahal dari harga pasar, tentu saja perusahaan merugi. Inilah yang mendorong perusahaan mencari berbagai upaya terobosan agar perusahaan tetap bertahan dan tumbuh berkembang.

DIBELENGGU

Menurut aturan dan sebagaimana layaknya suatu perusahaan, Pertamina hanya melakukan kegiatan usaha yang memberikan keuntungan. Namun, pada kenyatannya Pertamina masih sering ‘dipaksa’ merugi. Setiap kali Pertamina mengusulkan kenaikan LPG, selalu dihalang-halangi malah diminta memperbaki infrastuktur terlebih dahulu. Padahal harga pokok LPG dibawah harga pasar. Selisih harga tidak ditanggung pemerintah sebagai subsidi, melainkan ditanggung sendiri oleh Pertamina sebagai kerugian.

Berjualan BBM bersubsidi pun berpotensi merugikan Pertamina. Pada mulanya Pertamina meminta Alpha sebesar 14%, nyatanya hanya diberi 8%.
Dirut Pertamina sebelumnya, Air Soemarno penah berkeluh kesah mengenai hal ini. Ia mengatakan, selama ini posisi Pertamina kurang menguntungkan karena meskipun aspek regulasi formal sudah cukup mendukung tetapi dalam implementasinya kurang mendukung BUMN migas itu.

Ari memberi contoh, Pertamina mendapatkan tugas mendistribusikan BBM bersubsidi dengan margin ditekan di luar batas yang wajar. "Kami siap melaksanakan tugas mendistribusikan BBM, namun wajib mendapatkan keuntungan yang wajar, jangan margin ditekan serendah-rendahnya dengan alasan efisiensi," katanya.

Dikatakannya, Pertamina siap diaudit jika tidak percaya bahwa biaya distribusi sudah wajar. Bahkan ia menjamin biaya distribusi Pertamina tidak lebih mahal dari negeri tetangga Malaysia, padahal jangkauannya lebih sulit karena berpulau-pulau dan pedalaman.

Ibarat melepas Pertamina ke arena perdagangan bebas, kaki-kakinya masih dibelenggu dan diikat dengan pemberat.***

Selasa, 03 Maret 2009

Pertamina vs DPR, win-win

Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara PT Pertamina (Persero) dengan DPR RI Komisi VII tanggal 10 Pebruari lalu berlanjut masalah. Sebagian anggota dewan menanyakan pengangkatan Karen Agustiawan sebagai Dirut. Bahkan anggota Dewan Effendi Simbolon menyamakan Karen layaknya satpam.

Atas perlakuan yang tak mengenakkan ini, Sekretaris Perseroan (Sekper) Pertamina, Toharso melayangkan surat kepada Komisi VII. Sekper menyatakan kecewa atas jalanya RDP dan mengajukan keberatan atas perlakuan DPR. Toharso menginginkan, agar rapat DPR menyesuaikan aturan, fokus – tidak melebar kemana-mana.

Toharso bisa merasakan kalau Direksi tak suka diperlakukan ’semena-mena’ oleh DPR. Dirut sebelumnya, Ari Soemarno sering mengemukakan susahnya berhadapan dengan DPR. Pada berbagai kesempaan, Dirut mengatakan, bahwa salah satu tantangan Pertamina saat ini adalah semakin banyak Stakeholder yang harus dihadapi. Salah satunya, ya DPR itu. Bukan hanya dengan Komisi ESDM, tetapi dengan Komisi BUMN dan juga Komisi Anggaran.

Rapat dengan DPR sering menyita waktu, menghabiskan energi dan sering diperlakukan layaknya terdakwa. Ini sering dikemukan kepada lingkungan internal perusahaan, agar para pejabat dan pekerja memahami kondisi yang sedang dihadapi perusahaan dan memacu meningkatkan kinerja.

Saat Ari sebagai Dirut, Toharso sebagai Kepala Divisi Komunikasi. Ia tentu tahu apa yang dirasakan Direksi. Hanya saja, ia tak mempunyai kewenangan berhadapan dengan DPR. Kini setelah menjabat sebagai Sekper, ia merasa berwenang melayangkan surat protes kepada DPR.

Toharso tergolong sukses kariernya dan cepat naik pangkat. Boleh jadi sukses ini didukung pribadinya yang cepat dan berani bertindak, tidak peragu dan percaya diri. Ia cepat mengkalkulasi untung – rugi dan resiko tindaknya yang diputuskan.

Sementara itu, DPR yang merasa sebagai lembaga terhormat, tidak bisa terima kehormatannya diusik, apalagi oleh Sekper yang dianggap bukan petinggi perusahaan. Maka teror dan ancaman ditebar. Meminta agar Direksi yang baru saja dilantik digantikan orang lain, karena dianggap Pertamina tidak bisa diajak kerjasama.

Win - win.
Agar masalah tidak berlarut, diselenggarakan pertemuan klarifikasi (23/2) tidak hanya dihadiri Direksi Pertamina, juga Komisaris Pertamina dan Departemen ESDM. Setelah Dirut Pertamina dengan suara lembut menyampaikan permohonan maaf dan mencabut surat Sekper maka sikap DPR melunak.

Sebagai sebuah BUMN tentu saja Pertamina tidak ada maksud dan tidak akan pernah melecehkan DPR. Hanya saja, selama ini Pertamina merasa banyak direpotkan oleh DPR pada berbagai pertemuan dan kunjungan ke daerah.

Pada suatu ketika, DPR berkunjung ke Pertamina Dumai. Di kota ini terdapat pabrik pengolahan minyak mentah menjadi Bahan Bakar Minyak. Selaku tuan rumah.
Manajemen Unit Pengolahan Pertamina yang ada di kota ini berusaha bertindak sebaik mungkin. General Manajer dan seluruh jajaran Pengolahan dihadirkan pada pertemuan ini. Kepala Cabang Pemasaran Dumai ikut hadir. General Manajer Pemasaran yang berkedudukan di Medan tidak hadir, karena tujuan kunjungan adalah Unit Pengolahan Dumai.

Pertemuan berjalan lancar. Keperluan DPR untuk mendapat informasi berkaitan dengan perminyakan di Dumai, dapat dipenuhi. Namun, karena GM Pemasaran tidak hadir, maka DPR tidak bisa terima. DPR melayangkan surat kepada Dirut Pertamina, karena GM Pemasaran absen.

Disamping itu, kunjungan ke Pertamina di daerah lebih banyak merepotkan dibanding hasil yang diperoleh. Daftar pertanyaan yang diajukan sepertinya ’copy paste’, sebagian besar pertanyaan merupakan kebijakan Pertamina Pusat. Pantas saja, pertamina di Daerah tidak bisa menjawab. Padahal menerima kunjungan cukup merepotkan. Harus menguruskan perjalanan dan akomodasi dan berbagai keperluan lain.

Adanya surat Sekper yang cukup berani ini, setidaknya mengingatkan lembaga tinggi ini agar tidak ’semena-mena’. Pada pertemuan klarifikasi, beberapa anggota Komisi VII merasa perlu mawas diri atas kejadian ini. Hendarso Hadipramono dari FPDIP, merasa malu ada masalah seperti ini. ”Saya melihat ada kemauan dari Pertamina untuk menyelesaikan persoalan dengan Komisi VII. Saya kira kita semua di Komisi ini ingin selesai, malu kita ada masalah seperti ini”, katanya.

Anggota Komisi VII lainnya, Royani Haminullah mengatakan, persoalan ini dianggap selesai dengan pencabutan surat oleh Pertamina. Namun diingatkan, kejadian ini harus menjadi bahan koreksi di internal DPR.

Anggota komisi VII Nazaruddin Keimas mengatakan, seluruh anggota Komisi VII harus mawas diri mengapa Pertamina sampai mengirimkan surat pernyataan kecewa ”Ini warning bagi kita semua. Jadi sebelum Bu Karen berlapang dada meminta maaf, kita juga harus introspeksi hal-hal yang memungkinkan timbulkan kejadian seperti ini, terangnya.
Wakil Ketua Komisi VII Sutan Bhatougana menegaskan, pernyataan klarifikasi Pertamina sudah cukup. Yang lebih substansial, forum RDP ke depan harus lebih efektif. ”Ini pelajaran bagi kita bersama”, ujarnya.

Pertamina lega, keinginan diperlukan sebagai mitra yang sejajar akhirnya didengar. DPR juga tidak kehilangan ’kehormatannya’, karena Pertamina mencabut suratnya.***