Kamis, 28 Mei 2009

SEBERAPA BANYAK MINYAK KITA

Banyak yang menyesalkan kondisi perminyakan kita. “Kita ini negara kaya minyak. Kenyatannya, tidak bisa memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga harus impor minyak mentah maupun BBM. Akhirnya, harus terusir dari kelompok negara pengekspor minyak (Organizational Petroleum Exporter Countries = OPEC). Ini karena salah urus,” keluh banyak orang.

Sebenarnya, seberapa banyak kandungan minyak dan gas (migas) di bumi pertiwi ini. Tak ada yang tahu pasti seberapa banyak minyak kita dan dimana pastinya minyak berada. Yang bisa dilakukan hanya kira-kira dan dugaan saja.

Untuk membuktikan adanya minyak hanya bisa dilakukan dengan melakukan pemboran. Dibagian mana bumi yang akan dibor, dilakukan dengan menerka-nerka saja. Semula (semenjak 100 tahun lalu), pada umumnya pemboran dilakukan di tempat yang terdapat rembesan minyak ke permukaan bumi.

Dengan kemajuan teknologi, sebelum dilakukan pemboran terlebih dahulu dilakukan kegiatan pembuatan peta topografi wilayah yang diperkirakan terdapat minyak. Pembuatan peta dapat dilakukan dengan pemotretan dari udara. Cara ini paling efektif dibanding pemetaan di daratan, yang memerlukan waktu lama dan menghadapi kendala alam, seperti hutan belantara, rawa-rawa, tebing gunung dan gangguan binatang buas.

Setelah daerah yang diselidiki ditetapkan, selanjutnya para ahli bumi (geologi) masuk ke hutan-hutan atau rawa-rawa untuk mengadakan penyelidikan yang lebh teliti. Mereka mencari contoh-contoh batu atau lapisan batu yang muncul di permukaan karang atau tebing-tebing untuk diperiksa di laboratorium. Para geolog juga melakukan pemboran dangkal (shallow drilling) untuk mendapatkan contoh-contoh batu di dalam tanah.

Setelah itu, dilakukan penyelidikan seismik, yaitu dengan cara menimbulkan gempa kecil atau getaran-getaran di bawah tanah. Dinamit diledakkan sedalam 30 meter di dalam tanah. Ledakan dilakukan beberapa kali pada beberapa titik. Gelombang-gelombang getaran dari ledakan ini turun ke bawah dan memantul kembali ke permukaan bumi. Pantulannya menjadi kuat bila membentur pada batuan-batuan keras dan lemah bila terbentur pada batuan-batuan yang lunak. Getaran-getaran tersebut direkam dan kemudian hasilnya dibuat peta lapisan bawah tanah. Peta ini menggambarkan kondisi batuan, sehingga dapat diperkirakan tempat keberadaan minyak.

Minyak pada umumnya berada di lapisan batu-batuan yang banyak berlubang. Karena minyak lebih ringan dari air, maka minyak lalu mencari bagian tertinggi diantara semua lapisan. Disitulah minyak akhirnya terperangkap.

Pengeboran eksplorasi

Untuk membuktikan kebenaran perkiraan ini, ya harus dilakukan pemboran. Jika pemboran terletak di hutan, terlebih dahulu harus dibangun jalan atau merencanakan pengangkutan lewat udara. Berbagai fasilitas lain juga harus disiapkan, seperti asrama, bengkel, listrik, air dan kebutuhan lain. Setelah itu, barulah dibangun menara bor. Jika pemboran di laut, maka diperlukan ponton untuk menampung fasilitas tadi.

Pemboran dapat dilakukan hingga kedalaman 3000 meter. Setiap pemboran diperlukan semacam lumpur yang mengandung bahan-bahan kimia. Lumpur ini dimasukkan kedalam lubang sumur sebagai alat pelicin dan pendingin pahat (mata bor) serta untuk menyumbat sisi-sisi lubang supaya tidak longsor. Lumpur ini kemudian naik kembali ke atas permukaan tanah dengan membawa kepingan-kepingan batu yang dikerat oleh pahat bor. Pemboran dinyatakan berhasil jika terdapat indikas-indikasi minyak pada kepingan-kepingan batu atan tanah yang terbawa lumpur dari dalam sumur ke atas permukaan.

Pengeboran yang dilakukan pertama kalinya ini disebut pengeboran eksplorasi. Walaupun diindikasikan terdapat minyak, jika jumlahnya tidak cukup banyak, pengeboran tidak akan dilanjutkan karena tidak ekonomis untuk diusahakan. Itulah sebabnya mencari minyak ada unsur ‘gambling’ atau untung-untungan. Biaya yang dikeluarkan cukup besar, sedangkan hasilnya belum tentu didapat.

Kandungan minyak di negara kita masih ‘menjanjikan’. Tahun ini sudah ditetapkan 11 wilayah kerja (WK) migas pemenang tender dengan komitmen investasi sebesar Rp. 2,07 triliun.

Dari hasil kajian eksplorasi yang telah dilakukan, cadangan terbukti 2008 sebesar 3,75 miliar barel minyak dan 112,48 Trillion Cubic Feet (TCF) gas. Sedangkan cadangan potensial, yaitu perkiraan berdasarkan kajian tanpa dilakukan pemboran besarnya 4,47 miliar barel minyak dan 75,60 TCF gas.

Jika cadangan terbukti tidak bertambah dan setiap hari minyak diproduksi sebesar 960 ribu barrel, maka minyak akan habis pada 11 tahun mendatang. Sedangkan gas akan bertahan hingga 39 tahun mendatang, jika produksi gas sebesar 8 juta kaki kubik seperti saat ini (chusnul busro).***

Jumat, 22 Mei 2009

MINYAK UNTUK KITA

Bumi dan seluruh isinya diciptakan Tuhan untuk manusia. Semua yang ada di atas atau permukaan bumi dan yang di dalam perut bumi, diserahkan kepada manusia untuk mengelolanya. Sebelum manusia diciptakan, terlebih dahulu diciptakan bumi yang sudah siap huni..

Para ahli ilmu astronomi berpedapat bahwa penciptaan alam diawali dengan terjadinya ledakan besar energi cikal bakal alam (teori Big Bang). Teori ini berdasarkan kenyataan, alam semesta saat ini sedang mengembang. Hal ini sesuai dengan pengamatan yang dilakukan dengan teleskop Hubble milik Amerika Serikat yang diluncurkan NASA pada 1990. Teleskop yang sangat canggih ini mencatat bahwa semua benda langit sedang bergerak saling menjahui. Dan itu terjadi secara merata di berbagai penjuru langit.

Para pakar memperkirakan kejadian itu berlangsung pada 12 miliar tahun yang lalu. Dalam kurun waktu itu alam semesta mengalami pendinginan secara berangsur-angsur. Bersamaam dengan itu, tercipta benda langit secara bertahap seperti nebula, galaksi, matahari, planet dan satelit.

Diantara sekian banyak planet yang ada, yang paling ideal kondisinya untuk bisa memunculkan kehidupan adalah bumi. Di bumi tersedia daratan untuk kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Di bumi juga tersedia air yang berlimpah. Sekitar 2/3 permukannya ditutupi oleh air. Di perut bumi juga tersedia berbagai kandungan yang dapat dimanfaatkan manusia.

Proses penciptaan alam yang panjang ini untuk menyongsong keberadaan manusia yang diperkirakan baru muncul sekitar 10 juta tahun yang lalu.

Minyak Bumi

Salah satu kandungan di perut bumi yang bisa dimanfaatkan manusia berupa minyak dan gas bumi (Migas). Manusia tidak tahu pasti bagaimana proses terjadinya Migas. Dugaan terjadinya minyak berasal dari berbagai jenis organisme laut, hewani dan nabati. Beraneka makhluk, utamanya ikan besar dan kecil serta aneka fosil atau rangka makhluk yang sudah mati terbenam di bawah lapisan endapan-endapan lumpur dan pasir jauh di dasar lautan.

Bersama lapisan-lapisan tersebut, mengendap pula lumpur-lumpur lain yang bercampur dengan bahan-bahan organik. Benda tersebut dihanyutkan oleh sungai-sungai dari darat ke laut. Sebagai akibat dari tindihan lapisan-lapisan yang berat itu, ditambah daya berar air laut, yang sama-sama menekannya ke bawah, endapat-endapat pasir dan lumpur tadi berubah menjadi lapisan batu atau karang yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan lapisan sedimen.

Lapisan sediment ini ada yang tercipta dari butiran-butiran kecil yang melekat satu sama lain. Batu atau lapisan itu mempunyai lubang-lubang kecil atau pori yang dapat ditembus oleh cairan. Butiran-butiran yang sangat halus ini mengendap di lautan yang letaknya lebih jauh dari pantai dan kemudian membentuk batuan tanah liat yang disebut serpih (shale). Lapisan-lapisan tersebut kemudian makin lama makin menebal sampai ratusan bahkan ribuan meter.

Proses ini berlangsung selama jutaan tahun secara berkelanjutan. Meskipun tidak diketahui dengan pasti bagaimana bahan-bahan yang terdapat dalam lapisan-lapisan sedimen itu menjadi migas, namun inilah tahapan awal terjadinya pembentukan migas. Bahan-bahan utama ini berubah semula padat menjadi cair, setengah cair atau menjadi gas.

Diduga, proses terbentuknya migas itu terjadi sejak 500 juta tahun. Tapi ada juga yang memperkirakan 1000 juta tahun lalu, bahkan ada yang berpendapat 2000 juta tahun lalu.

Sementara proses penciptaan minyak berlangsung, bentuk permukaan bumi mengalami perubahan pula. Sebagian permukaan ada yang terdorong ke atas dan ada yang terdorong ke bawah. Lapisan-lapisan batu yang terdapat di bawahnya tergencet ke samping sehingga berkerut atau terlipat dan menjadi retak-retak. Inilah yang membuat bumi kita berbentuk seperti sekarang ini, ada benua, pulau dan samudera.

Bersamaan dengan itu, ada batu sedimen yang mengandung minyak terdorong dari bawah ke atas permukaan laut. Itulah sebabnya mengapa batu-batu yang mengandung minyak itu tidak selalu terdapat di bawah laut, tetapi terdapat juga di daratan.

Pada proses terjadinya minyak, ia bergerak atau migrasi mencari lapisan-lapisan yang banyak berlubang renik (porosus), disitulah ia terkumpul yang biasa disebut “reservoir bed’ atau reservoir rock”. Lapisan seperti inilah yang dicari-cari oleh para ahli pertambangan.

Karena reservoir rock itu mengandung air di lubang-lubangnya dan minyak lebih ringan dari air, maka minyak lalu mencari bagian tertinggi diantara semua lapisan. Pengembaraanya terhenti pada bagian yang ditutupi oleh batuan-batuan yang kedap udara (cap rock). Disitulah minyak akhirnya terperangkap (chusnul busro).***

Senin, 18 Mei 2009

BERALIH KE ‘GAS KOTA’ YUK

Kota Surabaya dan Palembang menjadi pilot proyek ‘gas kota’. Dengan biaya APBN, akan dibangun infrastruktur jaringan untuk memenuhi 3.200 rumah tangga di Surabaya dan 4.200 di Palembang.

Lapindo Brantas Inc sanggup memasok gas 2 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dari lapangan di Sidoarjo. Dari kota udang ini, gas dialirkan melalui pipa sepanjang 30 kilometer untuk warga di Kelurahan Rungkut Kidul dan Kali Rungkut. Sedangkan pasokan gas di Palembang diharapkan dipenuhi Medco EP Indonesia sebesar 1 MMSCFD.

Warga diharapkan antusias menyambut proyek ini. Harga gas dijamin murah sekitar Rp. 2,000 per meter kubik (m3). Dengan asumsi kebutuhan per bulan 15 m3, setiap rumah tangga hanya perlu mengeluarkan uang Rp. 30.000. Hanya saja konsumen dibebani biaya instalasi pipa per rumah tangga sekitar Rp. 1 juta. Pengeluaran yang hanya sekali saja ini, tetap menguntungkan dibandingkan menggunakan LPG yang bisa mencapai Rp. 100.000 per bulan.

Ada keuntungan lain bagi konsumen gas kota, menggunakannya mudah seperti membuka kran air di rumah saja. Insya Allah pasokannya terjamin, selama sumur gas masih berproduksi. Tidak seperti menggunakan LPG yang sering tidak tersedia. Resiko kebakaran atau ledakan sangat rendah. Mengingat gas kota bertekanan rendah tidak seperti LPG yang bertekanan tinggi. Walaupun gas LPG sudah diberi tambahan bau agar mudah terpantau jika terjadi kebocoran, tetap saja sering mengakibatkan kebakaran.

Memang murah

Gas kota memang murah. Gas yang dihasilkan dari sumur gas (gas well) maupun gas ikutan dari sumur minyak (associated gas) bisa langsung digunakan untuk pembakaran. Dengan dilakukan pemisahan (separasi) cairan (minyak dan air), gas siap digunakan. Agar biaya insfrastuktur jaringan pipa tidak mahal, dipilih gas yang dihasilkan dari lapangan Migas dekat kota seperti Sidoarjo.

Sedangkan untuk menghasilkan gas LPG harus dilalui serangkaian proses yang rumit dan panjang, sehingga konsumen harus membayar biaya lebih mahal. Proses ini diawali mendatangkan minyak mentah (crude) ke kilang Bahan Bakar Minyak. Jika crude tersedia dekat kilang tinggal dialirkan melalui pipa.

Seiring dengan semakin menipisnya cadangan minyak, pada umumnya crude didatangkan dari negara lain (impor). Maka memerlukan proses pengapalan dan penyimpanan dalam jumlah besar agar ekonomis.

Selanjutnya, crude diolah melalui pemanasan hingga 3600 celcius (primary proces) agar terjadi pemisahan komponen minyak. Komponen yang paling ringan menjadi gas, diikuti komponen BBM lain hingga residu.

Agar residu minyak menjadi bernilai, dilakukan proses lanjutan (secondary proces) dengan teknologi bejana vacuum ataupun perengkahan komponen minyak (hydrocracker). Melalui proses ini kembali dihasilkan gas dan komponen BBM. Gas yang dihasilkan kilang ini, selanjutnya dilakukan pemampatan agar gas berubah menjadi cair (LPG = Liquid Petroleum Gas).

Untuk mendekatkan dengan konsumen LPG diangkut dengan kapal ataupun truk khusus ke instalasi pengisian. Di tempat inilah LPG dibotolkan dan kembali diangkut ke konsumen. Bagi konsumen yang jaraknya jauh dari instalasi pengisian LPG (lebih dari 60 kilometer), harus membayar harga lebih mahal karena menanggung biaya tambahan transportasi.

Jika rumah kita terjangkau berlangganan gas kota sebaiknya beralih ke gas yang sedang promo ini. Tak perlu beli kompor baru, dengan kompor yang selama ini digunakan memasak menggunakan LPG bisa digunakan untuk gas kota.

Harap bersabar, proyek ini dijanjikan akhir tahun 2009 bisa dinikmati. Jika berhasil, jumlah pelanggan akan ditambah dan dikembangkan di kota lain. (chusnul busro).***

SOLAR BERLEBIH, SOLAR LANGKAH

Selama ini PT Pertamina (Persero) rutin mengimpor solar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Lesuhnya kegiatan industri, kini tidak perlu impor lagi. Bahkan produksi solar yang dihasilkan dari kilang Pertamina melebihi konsumsi. Agar kelebihan produk ini tidak memenuhi tanki timbun, yang bisa mengakibatkan terganggunya produksi karena tak ada lagi tempat menyimpan, maka solar dijual kepada pihak swasta.

Saat ini produksi solar dalam negeri mencapai 99,49 Juta barel, sedangkan konsumsi 73,59 juta barel. Selain produksi dari kilang yang ada (Pertamina), pasokan solar juga akan bertambah dengan beroperasinya kilang baru. Yaitu kilang Tri Wahana Universal di Bojonegoro Jatim, yang kapasitasnya 6.000 barel per hari. Ada juga kilang Muba di Musi Banyuasin Sumatera Selatan, dengan kapasitas 800 barel per hari.

Pada Maret dan April ini Pertamina menandatangani kontrak penjualan solar ke lima perusahaan swasta. Total volumenya mencapai 103.800 kiloliter (KL). Perusahaan tersebut adalah PT Jagad Energy membeli 3.800 KL akan dipasok dari Tanjung Uban dan Depot Balikpapan. PT AKR Corporindo membeli 60.000 KL dipasok dari Tanjung Gerem. PT Petronas Niaga Indonesia membeli 28.000 KL dipasok dari Belawan, Samarinda, Kotabaru dan Merak. Ada juga PT Toyota Tsusho Indonesia membeli 10.000 KL dari Kotabaru.

Kelebihan solar ini ternyata tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat pada Bahan Bakar Minyak (BBM) ini. Ketika Pertamina menjual solar kepada pihak swasta, ternyata masih terjadi kelangkaan BBM. Nelayan asal Kecamatan Blanakan, Subang, Jabar terancam tidak bisa melaut, karena kesulitan mendapat solar pada awal April lalu.

Mereka mengamuk di SPDN (Solar Package Dealer Nelayan) atau stasiun pengisian bahan bakar solar khusus untuk nelayan. Fasilitas terletak dekat tempat pelelangan ikan ini nyaris dibakar. Untuk melampiaskan kekesalannya, nelayan melempar jeriken dan menggulingkan puluhan drum kosong.

Nelayan biasanya menerima pasokan melalui SPDN sebanyak 16.000 KL setiap hari. Kini hanya menerima separuhnya sekitar 8.000 KL. Mereka menduga, penyebabnya karena perubahan titik suplai yang semula dari Depot Balongan dipindah ke Depot Cikampek.

BBM SUBSIDI

Solar untuk nelayan yang dijual melalui SPDN tergolong BBM bersubsidi. Tak ada yang bisa menjamin bahwa BBM subsidi selalu tepat waktu, tepat tempat dan tepat jumlah. Jika konsumsi melampaui kuota yang telah ditetapkan sesuai kehendak DPR RI, tetap saja Pertamina hanya memenuhi sesuai batasan. Tentu saja hal ini berakibat terjadi kelangkaan.

Pertamina mendapat ganti subsidi sesuai BBM yang dijual asalkan tidak melebihi batas yang ditentukan tadi. Jika melebihi kuota maka kelebihan ini tidak diganti oleh pemerintah. Pertamina harus menanggung kerugian sendiri jika penjualan BBM subsidi melebihi batas. Sebagai BUMN yang dituntut memberikan keuntungan, Pertamina terpaksa membatasi penjualan agar tidak menderita kerugian. Tentu saja berdampak pada masyarakat (konsumen), karena tidak tersedia BBM dalam jumlah cukup.

Kelangkaan BBM subsidi juga sering terjadi ketika harga minyak mentah (crude) tinggi. Pada saat crude dikisaran US $ 100 per barrel, harga solar non subsidi bisa mencapai Rp. 6.000 hingga Rp. 7.000 per liter. Padahal harga solar subsidi tetap saja Rp. 4.300 per liter.

Perbedaan harga yang cukup besar ini, mendorong beberapa pihak menyalah gunakan solar. Solar di SPDN yang seharusnya dijual kepada nelayan, bisa saja dialihkan ke kapal yang tidak layak mendapat harga subsidi. Begitu juga solar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), memungkinkan dijual kepada industri. Ini dilakukan demi mendapat keuntungan berlipat.

Pertamina tidak bisa menjamin BBM subsidi tidak beralih kegunaan. Perusahaan hanya bisa mengawasi hingga di lembaga retail resmi (seperti SPDN dan SPBU). Peredaran BBM diluar retail resmi bukan lagi tanggung jawab Pertamina untuk melakukan pengawasan.

Menurut Undang-Undang Migas nomor 22 tahun 2001, ada sangsi berat bagi yang menyalah gunakan BBM bersubsidi. Sudah banyak yang mendapat sangsi pelanggaran ini. Namun masih banyak lagi yang tidak terjangkau. Maklum tempat yang memungkinkan terjadinya penyalah gunaan sangat luas.

Stok BBM berlimpah tidak selamanya menjamin kebutuhan masyarakat terpenuhi (chusnul busro)***

ADA APA DENGAN KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA

Perjanjian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sering dituding sebagai biang keladi tidak beresnya perminyakan Indonesia. Ketika Produksi Minyak dan Gas Bumi (Migas) tidak kunjung naik bahkan cenderung terus menurun, maka kehadiran kontraktor asing dianggap sebagai penghambat. Kontraktor juga dinilai suka menggelembungkan biaya operasi yang harus ditanggung pemerintah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya dugaan penyimpangan keuangan sektor Migas Rp. 14,58 triliun. Ada apa dengan kehadiran perusahaan minyak asing ini ?

Industri perminyakan di Indonesia dimulai tahun 1885 dengan penemuan ladang minyak di Telaga Said Sumatera Utara. Disusul penemuan minyak di Ledok Jawa Barat, Muara Enim Sumatera Selatan dan Sanga-Sanga Kalimantan Timur.

Perusahaan minyak di Indonesia diberikan daerah konsesi pertambangan dengan membayar sejumlah royalty kepada pemerintah Hindia Belanda dan mengikuti perjanjian Kontrak Karya (KK) tahun 1899.

Setelah Indonesia merdeka pada 1945 ada keinginan menguasai industri minyak yang ada di dalam negeri. Ini sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Untuk menggantikan perjanjian KK, Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina memperkenalkan perjanjian pengelolaan Migas yang dikenal dengan Production Sharing Contract (PSC) pada tahun 1966. Kini perjanjian ini dikenal dengan nama Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Pada prinsipnya perjanjian ini menetapkan bahwa Pertamina (mewakili pemerintah) sebagai pemegang manajemen operasi. Kontraktor bertanggung jawab kepada Pertamina atas pelaksanaan operasi sesuai program kerja yang disetujui. Kontraktor juga harus menyediakan dana dan teknologi untuk mendapatkan minyak.

Mencari minyak mempunyai tingkat resiko kegagalan tinggi. Kontraktor menanggung semua kerugian atas biaya yang dikeluarkan. Dimulai dari kegiatan penelitian, survei seismik hingga pengeboran eksplorasi. Masa berlakunya perjanjian biasanya 6 hingga 10 tahun untuk eksplorasi dan 30 tahun jika lapangan minyak layak diproduksi secara komersial.

Karena Pertamina sebagai pengatur maka kontraktor berkewajiban menyiapkan program kerja tahunan dan rencana anggaran biaya untuk disetujui oleh Pertamina. Semua peralatan yang dibeli oleh kontraktor menjadi milik Pertamina ketika tidak lagi beroperasi dan meningalkan Indonesia. Disamping itu, semua data operasi juga menjadi milik Pertamina.

Disamping Kontraktor harus mengikuti aturan pajak yang berlaku, kontraktor diharuskan memenuhi kebutuhan enerji dalam negeri biasa disebut Domestic Market Obligation (DMO). Jumlah DMO bisa mencapai sekitar 25% produksi.

COST RECOVERY

Walau kontraktor harus menanggung semua kerugian biaya operasi jika gagal menemukan minyak. Namun jika berhasil maka semua biaya operasi semenjak eksplorasi dan biaya produksi mendapat penggantian (cost recovery). Selanjutnya, hasil bersih dibagi antara kontraktor dan pemerintah.

Mulanya bagi hasil sebesar 60% untuk pemerintah dan 40% untuk kontraktor. Pada perjalanan selanjutnya, bagi hasil lebih menguntungkan pemerintah menjadi 85% untuk pemerintah dan 15% untuk kontraktor.

Jadi kalau sebuah ladang minyak menghasilkan Migas seharga Rp. 1.000 dan biaya operasi sebesar Rp. 400 maka hasil bersih sebesar Rp. 600. Bagian pemerintah sebesar Rp. 510 dan bagian kontraktor Rp. 90 (dalam prakteknya yang dibagi bukan uang tetapi hasil Migas).

Kontraktor bersedia menerima bagian yang sepertinya kecil, karena adanya cost recovery ini. Belakangan, cost recovery dinilai pangkal ketidak beresan yang merugikan keuangan negara dengan cara memark up biaya.

Sebenarnya ada mekanisme supaya cost recovery tidak dipermainkan. Bukankah kontraktor terlebih dahulu diharuskan membuat anggaran biaya. Sebelum tahun 2001, ketika Pertamina masih mengatur kontraktor, ada Bagian yang bernama Badan Pembinaan Pengusaan Kontraktor Asing (BPPKA). Badan inilah yang mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan kegiatan kontraktor baik operasional maupun biaya operasi. Disamping itu, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap kontraktor atas kegiatan operasional dan keuangannya.

Setelah Pertamina tidak lagi mengawasi kontraktor, peran lembaga ini digantikan oleh Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Guna meningkatkan kinerja kontraktor dan mengurangi kemungkinan cost recovery digelembungkan, maka BP Migas harus terus menerus meningkatkan pengawasan (chusnul busro).***

SWASTANISASI SPBU

PT Pertamina (Persero) menetapkan aktivitas pemasaran Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk konsumen kendaraan bermotor menggunakan saluran pemasaran satu tingkat. BBM jenis premium dan solar didatangkan dari Depot penimbunan, dikirimkan ke sarana retail Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Pada mulanya, SPBU ini merupakan milik Pertamina. Semua sarana SPBU merupakan asset perusahaan. Perawatan dan perbaikan sarana ditanggung oleh Pertamina. Perusahaan plat merah ini harus menyediakan tim tukang pompa, untuk memperbaiki kerusakan pompa di semua SPBU. Perusahaan juga menyediakan tim teknik yang melakukan perencanaan dan perawatan fasilitas SPBU.

Mitra usaha (pengusaha) menyediakan dana (Cash Bonus) sebesar separuh dari nilai asset SPBU. Tanpa perlu repot mengurusi banyak hal berkaitan dengan perawatan asset, pengusaha tinggal menjalankan operasi penjualan BBM.

Cara ini semakin lama dirasakan memberatkan Pertamina. Upaya menambah SPBU terhambat karena perusahaan harus menyediakan dana yang cukup besar. Maka, pada awal tahun 1990-an mulai dilakukan swastanisasi SPBU. Asset SPBU dinilai menurut kondisi saat itu, dijual kepada mitra dengan memperhitungkan Cash Bonus yang pernah dibayar.

Semenjak itu, pengusaha harus menyediakan sendiri modal untuk membangun SPBU. Perawatan dan perbaikan fasilitas SPBU juga harus dilakukan sendiri oleh pengusaha. Kewajiban Pertamina hanya menyediakan BBM sesuai alokasi yang ditentukan.

Dengan swastanisasi, penambahan SPBU tumbuh cepat. Terlebih pada akhir-akhir ini Pertamina mempermudah ijin membangun fasilitas penjualan ini. Disisi lain, swastanisasi berarti mendelegasikan berbagai tugas penjualan kepada Mitra. Delegasi ini berarti melepaskan sejumlah pengendalian. Pertamina seolah-olah meletakkan nasib perusahaan ke tangan Mitra.

Sepuluh tahun kemudian terjadi perubahan pengelolaan Minyak dan Gas Bumi (Migas) di dalam negeri. Dengan adanya Undang-Undang Migas nomor 22 tahun 2001, Pertamina tidak lagi merupakan satu-satunya perusahaan yang memasarkan BBM dalam negeri. Kini sudah ada tiga perusahaan minyak asing yang mengelola SPBU, yaitu Shell, Petronas dan Total.

Mengingat SPBU didominasi warna merah dengan logo anak panah (Pertamina) adalah milik swasta (Mitra), maka sangat memungkinkan pengusaha memodifikasi SPBU dengan merubah warna dan berganti logo. Jika kemitraan dengan pihak asing lebih menguntungkan, bukan mustahil pada saatnya nanti SPBU yang semula menjual BBM dari Pertamina berganti menjual produk BBM asing.

Kemitraan dengan Pertamina, mengharuskan pengusaha menebus DO (Delevery Order) dengan membayar tunai terlebih dahulu untuk mengadakan BBM. Pengiriman minyak hanya dilakukan jika dapat menunjukkan DO ini. Jika perusahaan minyak asing, misalnya, menawarkan pengiriman minyak terlebih dahulu dan dibayar setelah minyak terjual. Atau memberikan keuntungan per liter BBM lebih besar. Atau bisa juga dengan berganti logo diharapkan penjualan meningkat, maka sangat memungkinkan SPBU ini berganti logo.

Nampaknya Pertamina menyadari, tidak mau sepenuhnya nasibnya ditentukan oleh Mitra. Kini Pertamina membangun SPBU COCO (Company Own, Company Opereted). SPBU didanai sendiri dan dioperasikan sendiri. Hanya saja jumlahnya belum banyak karena harus menyediakan modal besar dan lahan strategis.

Boleh jadi, kalau seandainya dari awal Pertamina mengetahui bahwa pada tahun 2001 akan ada UU Migas, tentu Pertamina tidak akan menswastakan SPBU-nya (chusnul busro).***