Jumat, 11 Desember 2009

PLN Kekurangan Gas di Negeri Pengeskpor Gas

PLN mengalami defisit (kekurangan) gas bumi sekitar 435 MMSCFD (Million Metric Standar Cubic Feet per Day). Menurut Dirut PT PLN Fahmi Mochtar, ada dua titik kritis pasokan gas. Pertama, untuk wilayah Sumut, terutama PLTGU Belawan. Dari kebutuhan 130 MMSCFD, baru terpenuhi 20 MMSCFD sehingga kurang 110 MMSCFD. Titik kritis kedua, berada di Jawa. Dari total kebutuhan 875 MMSCFD, hingga saat ini baru terpenuhi 550 MMSCFD sehingga masih defisit 325 MMSCFD.

Ditambahkannya, kebutuhan gas di Jawa akan naik seiring program repowering PLTGU Muara Karang. Pada 2012 defisit akan naik hingga 400 MMSCFD dan pada 2014 membengkak hingga 600 MMSCFSD.

Kekurangan gas ini menghambat program gasifikasi, yaitu menggantikan minyak dengan gas yang harganya lebih murah. Tujuannya untuk menurunkan beban subsidi pemerintah.

Dahlan Iskan, Chairman Jawa Pos Group menulis di korannya, PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) itu haus uang, tapi lembek tenaga. Haus uang karena menghabiskan uang negara. Lembek karena lemah sekali tenaga listrik yang dihasilkannya. Akibatnya, menyengsarakan rakyat di banyak tempat, karena tidak tersedia listrik.

Padahal, tambahnya, kalau PLTD-PLTD itu diubah semua mejadi PLTU kecil dan menengah, bukan saja rakyat di wilayah itu bisa tersenyum, pemerintah juga bisa berhemat sedikitnya Rp. 20 trilun setahun. Kalau wilayah itu cukup listrik, investor berdatangan. Penghasilan pajak akan naik, tenaga kerja akan mengalir.

Defisit ini bukan karena tidak tersedia gas, namun gas yang ada terlanjur diekspor. Menurut data Departemen ESDM, gas yang dijual ke luar negeri lebih besar dari pemakaian sendiri. Tahun 2007 untuk domestik 3.504 MMSCFD (45,6%), ekspor 4.182 MMSCFD (54,4%). Pada 2008, domestik 3.769 MMSCFD (47,8%), ekspor 4.114 MMSCFD (52,2%). Hingga semester pertama 2009, pemakaian domestik 3.943 MMSCFD (47,7%) dan ekspor 4.331 MMSCFD (52,3%).

Ekspor Gas

Ekspor gas dimulai semenjak tahun 1977. Indonesia memasuki era baru untuk pertama kalinya mengekspor gas dalam bentuk LNG. LNG adalah bahan enerji bersih, yang diekspor dalam bentuk cair dan dikenal dengan nama Liquefied Natural Gas. Itulah yang mengantarkan Indonesia menjadi negara produsen utama LNG, untuk ekspor ke Jepang, Korea dan Taiwan.

Karena jarak yang jauh, gas bumi hanya bisa dikirimkan menggunakan kapal tanker khusus dalam bentuk LNG. Mengubah gas alam menjadi LNG diawali dengan menghilangkan unsur tak diperlukan seperti CO2 dan H2S yang terkandung dalam gas. Untuk menghindari pembekuan di dalam LNG maka kadar air dari gas alam yang masuk harus diturunkan sampai kurang dari 1 ppm. Sesudah memisahkan air dan sebelum gas ini dicairkan maka dilakukan pendinginan tahap pertama. Selanjutnya sebagai tahap akhir gas alam didinginkan dan dicairkan di dalam main heat exchanger sehingga gas menjadi cair, dan pendinginan harus berjalan seterusnya sebelum dimasukkan ke dalam tangki penyimpanan.

Barulah setelah itu LNG siap dikirimkan ke pelabuhan tujuan mengunakan kapal tanker khusus untuk disimpan dalam tanki-tanki yang diisolasi secara khusus. Setelah itu dengan proses regasifikasi, LNG dikembalikan kepada bentuknya yang asli dan kemudian dialirkan kepada para konsumen.

Karena pembeli mengeluarkan dana sangat besar untuk menyediakan fasilitas pengiriman dan penerimaan gas, maka kontrak jual beli gas umumnya jangka panjang bisa smpai 20 tahun.

Ketika membangun pembangkit, PLN lebih suka memilih PLTD. Setelah dirasa minyak semakin mahal, barulah terpikir menggantikannya dengan gas. Padahal gas yang ada sudah terikat kontrak penjualan jangka panjang (chusnul busro).***

(Tulisan ini terdapat juga di kompasiana.com).

Selasa, 10 November 2009

PENGOPLOSAN BAHAN BAKAR AKAN TERUS BERLANGSUNG

Harga elpiji tabung 12 kg dan 50 kg naik Rp. 100 per kg, dari semula Rp. 5.250 menjadi Rp. 5.350. Sedangkan elpiji tabung 3 kg tidak mengalami kenaikan karena komoditas ini masih mendapat subsidi dari pemerintah. Maka, perbedaan harga elpiji tabung 12 kg dengan 3 kg semakin besar.

Adanya kenaikan harga ini, terdengar kabar maraknya elpiji oplosan. Para pengoplos menemukan cara baru untuk mengeruk untung. Sebagian isi tabung ukuran 12 kg disedot sekitar 2 atau 3 kg, kemudian dimasukkan ke tabung ukuran 3 kg yang kosong. Agar aksinya tidak ketahuan, pengoplos memasukkan air atau angin, supaya berat kembali normal. Cara lain, pengoplos menyedot isi tabung 3 kg dan memasukkan ke dalam tabung 12 kg. Pelaku mendapat keuntungan karena menjual elpiji bersubsidi dengan harga non subsidi.

Menghadapi ulah nakal ini, Pertamina tak bisa banyak bertindak. Perusahaan perminyakan plat merah ini hanya bisa meminta polisi untuk mengejar para pelaku tindakan yang melanggar undang-undang ini. “Kami sedang mengevaluasi dampak kenaikan elpiji 12 kg di lapangan, termasuk masalah pengoplosan. Monitoring sudah dilakukan sejak harga elpiji non subsidi dinaikkan,” kata Deputi Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya.

Pengoplosan bahan bakar selalu saja terjadi. Kalau saat ini yang dioplos elpiji, sebelumnya yang dioplos adalah minyak tanah (kerosene) dengan solar. Minyak tanah yang biasa digunakan untuk menyalakan kompor oleh masyarakat, dipilih untuk dioplos karena harganya murah. Pantas, saat itu ibu-ibu rumah tangga sering mengeluh kesulitan mendapatkan minyak tanah. Kalau toh ada, harus mendapatkannya dengan antri. Bahkan sering harganya lebih mahal dari biasanya.

Walaupun pihak Pertamina sering mengatakan bahwa alokasi minyak tanah tidak dikurangi, namun kenyatannya bahan bakar ini sering hilang di pasaran. Pertamina tidak bisa sembarangan menambah alokasi minyak tanah, karena terikat dengan batas alokasi yang diijinkan sesuai persetujuan DPR RI. Ujung-ujungnya, masyarakat yang harus merasakan kesulitan untuk mendapatkan bahan bakar.

Adanya pengoplosan juga merugikan konsumen lain. Teman saya, seorang sopir angkutan mengatakan, selama ini dia biasa mengoplos solar dengan minyak tanah. “Saya biasa mencampur minyak tanah ke solar. Mesinnya oke-oke saja. Tak ada keluhan dari juragan pada mobilnya, katanya terus terang.

Ditambahkannya, jika tak mengoplos ia tak akan bisa membawa uang ke rumah. Pendapatannya hanya cukup untuk bayar setoran, beli bahan bakar dan makan. Jerih payah seharian tak ada sisa.

Pada suatu ketika, saya kedatangan seorang tamu teknisi pabrik. Ia mengeluh mesinnya sering rusak dan mencurigai kemungkinan solar yang digunakan merupakan oplosan. Setelah diperiksa di laboratorium untuk menilai kualitas solar, ternyata memang ada penurunan kualitas solar namun masih dalam batas spesifikasi. Menurut penjelasan dari petugas laboratorium, kualitas solar hasil olahan kilang Pertamina cukup bagus. Jika solar dioplos dengan minyak tanah tak sampai 20 persen, memang ada penurunan kualitas namun masih dalam spesifikasi.

Pada kesempatan lain, petugas kepolisian pernah menangkap seseorang yang diduga mengoplos solar dan menyitanya untuk diperiksa. Ternyata, hasil laboratorium tidak mendukung temuannya dibawah ke pengadilan, karena solar masih sesuai spesifikasi.

Begitulah, selama ada perbedaan harga bahan bakar maka pengoplosan akan terus berlangsung. Berbagai macam cara digunakan, agar aksinya tak mudah ketahuan (chusnul busro).***

Kamis, 08 Oktober 2009

Semenjak Dulu Pertamina Ingin Mengoperasikan Blok Cepu

Ketika produksi minyak mentah kita cenderung menurun, sedangkan kebutuhan minyak terus bertambah maka tambahan produksi dari lapangan baru seperti blok Cepu sungguh sangat diharapkan.

Kenyatannya jauh dari yang diharapkan. Produksi awal (early production) 20 ribu bph (barel per hari) ditargetkan pada Desember 2008. Namun, jadual ini dimundurkan menjadi Februari 2009, bahkan mundur lagi menjadi Juni 2009. Barulah pada akhir Agustus 2009 produksi mulai dilakukan, itupun hanya sebesar 2.000 bph..

Akibat molornya jadual produksi, Negara kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp. 1,5 triliun setiap hari. Angka ini berdasarkan produksi 20.000 barel per hari dengan harga minyak US $ 50 per barel.

Wakil rakyat tidak puas dengan kinerja Exxon Mobil. Anggota Komisi VII DPR Alvin Lie mengatakan, Mobil Cepu Limited (MCL) telah gagal memenuhi target pemerintah. MCL sudah molor delapan bulan dan hasilnya juga belum maksimal 20 ribu bph. Komisi VII DPR yang membawahkan bidang energi dan sumber daya mineral juga tidak yakin Exxon bisa menepati janji mencapai produksi 165 ribu bph pada Maret 2013 nanti.

Komisi VII meminta agar pemerintah meninjau ulang perjanjian pengelolaan Blok Cepu. Pemerintah dinilai terlalu toleran kepada Exxon. Pemerintah juga akan diminta penjelasan mengapa menunjuk Exxon bukan Pertamina. Bukan hanya itu, DPR juga menyoroti banyaknya tenaga asing di MCL, yang gajinya mengacu pada standar dolar. Saat ini jumlahnya 120 orang, bahkan bisa bertambah karena ada yang belum terdaftar.

Pemerintah menilai kerja sama operasi atau Joint Operating Agreement (JoA) antara Pertamina dan Exxon Mobil Indonesia di blok Cepu merupakan JoA terburuk. Pertamina tidak memiliki peran dalam setiap pengambilan keputusan di proyek blok Cepu.Kepala BP Migas R.Priyono mengatakan, sebagai pemilik 45 persen saham, seharusnya Pertamina juga diperhitungkan dalam setiap keputusan yang dibuat Exdxon Mobil sebagai operator.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan setuju dengan penilaian pemerintah. Dia mengakui, selama ini Pertamina memang kurang dilibatkan dalam setiap keputusan yang diambil di blok Cepu lantaran bukan pemiliki saham mayoritas. “Saya lihat JoA untuk pengambilan keputusan memang agak pincang karena untuk bisa memiliki posisi dalam pengambilan keputusan harus memiliki saham minimal 65 persen. Kami baru memiliki 45 persen, apabila ditambah BUMD hanya sekitar 55 persen,” katanya.

Atas keterlembatan ini pemerintah membentuk tim PeningkatanPercepatan Produksi Migas (P3M). Tim yang beranggotakan 11 orang ini bertugas menyelidiki keterlambaan produksi minyak Cepu oleh Exxon Mobil. Tim akan mengumumkan apa penyebab keterlambatan produksi.

PT Pertamina (Persero) yang selama ini tidak banyak berperan pada blok Cepu mulai berani menyatakan siap menggeser Mobil Cepu Limited (MCL. Perusahaan BUMN ini melayangkan surat ke BP Migas meminta untuk segera menyembatani permintaan perseroan supaya JoA direvisi. Selain itu, Pertamina menyatakan siap menjadi operatorship Cepu menggeser MCL.

Vice Presiden Communication PT Pertamina (Persero) Basuki Trikora Putra mengatakan jika Pertamina menjadi operator Cepu, pihaknya akan mampu membuat blok Cepu memproduksi minyak 160 ribu bph pada Maret 2010. “Kami punya sumber daya manusia (SDM), finance, teknologi dan pengalaman di lapangan,” tegasnya.

Ucapan Basuki didukung fakta bahwa Pertamina saat ini megembangkan lapangan di luar negeri, seperti di blok SK 305 Serawak Malaysia, blok 10/11.2 Vietnam, blok 17.3 Sabratah Libya, blok 3 Qatar, blok 13 offshore Sudan dan blok Western Dessert Irak

Sementara itu Direktur Utama PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (EP) Salis S.Aprilian menegaskan apabila pihaknya menjadi operator maka biaya investasi bisa lebih rendah sekitar 50 persen. Dia mencotohkan untuk mengebor satu sumur di lapangan Sukowati di blok Tuban, Pertamina mengalokasikan dana sekitar USD 5-6 juta.

Sedangkan untuk mengebor satu sumur di lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, MCL menganggarkan sekitar USD 12-15 juta. ”Biaya investasi untuk eksplorasi sumur yang ada di pulau Jawa rata-rata sama, tidak jauh berbeda. Lagi pula Banyu Urip dan Sukowati wilayahnya berdekatan,” katanya.

Bagi Pertamina,.keinginan mengoperasikan blok Cepu sebenarnya merupakan keinginan lama, semenjak Widya Purnama menjabat Dirut Pertamina. Saat itu, pembahasan JoA sangat alot karena Widya ngotot ingin menjadi operator. Di saat pembahasan tidak juga selesai, tiba-tiba Widya Purnama diganti oleh Ari Soemarno. Ketika berganti Dirut itulah, perjanjian JoA antara Pertamina dan Exxdon Mobil segera ditandatangani.

Berhasilkah Pertamina mewujudkan keinginan lama menjadi operator blok Cepu. Kita tunggu hasilnya (chusnul busro).***

Rabu, 07 Oktober 2009

Pertamina Ketemu Lawan.

Hingga saat ini Pertamina masih satu-satunya perusahaan yang mendistribusikan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi seperti minyak tanah untuk masyarakat, premium dan solar untuk kendaraan bermotor. Namun pada tahun 2010 nanti, setidaknya ada empat perusahaan yang menjalankan pelayanan publik ini (PSO / Public Service Obligation). Keempat perusahaan itu adalah PT Pertamina (Persero), PT Shell Indonesia, PT Petronas dan PT AKR Corporation. Kalau selama ini SPBU Shell dan Petronas hanya menjual BBM non subsidi (sejenis Pertamax dan Solar Dex), dimungkinkan juga akan menjual Premium dan Solar subsidi.

Penetapan ini diawali dengan pertemuan umum atau public hearing antara Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dengan 30 badan usaha. Public hearing diadakan sebagai sosialisasi peraturan baru, sebagai awal proses penunjukan langsung badan usaha yang akan mendistribusikan BBM PSO.

Dari perusahaan yang hadir, ternyata ada 10 perusahaan yang berminat mengikuti tender tersebut, yaitu PT Medco Sarana Kalibaru, PT Aneka Kimia Raya (AKR) Corporation Tbk, PT Bumi Asri Prima Pratama (BAPP), PT Patra Niaga, PT Pertamina (Persero), PT Petro Andalan Nusantara, PT Petrobas, PT Petronas Niaga Indonesia, PT Shell Indnesia dan PT Total Oil Indonesia.

Tender semacam ini sudah dilakukan BPH Migas beberapa kali pada tahun-tahun sebelumnya. Karena tidak ada perusahaan yang dinilai memenuhi persyaratan, maka saat itu hanya Pertamina yang ditetapkan sebagai satu-satunya penyedia BBM PSO dalam negeri.

Setelah dilakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen dan verifikasi lapangan, BPH Migas menetapkan keempat perusahaan tadi sebagai pemenang tender. Nantinya, pemenang tender akan mendistribusikan BBM bersubsidi tahun 2010 dengan besaran biaya distribusi dan keuntungan (alpha) yang disepakati Panitia Anggaran DPR.

Dalam draft APBN 2010, volume kuota BBM bersubsidi yang akan didistribusikan tahun 2010 sebanyak 36.504.779 kiloliter (KL), dengan rincian premium 21.454.104 KL, solar 11.250.675 KL dan minyak tanah 3.800.000 KL.

Semenjak awal, Pertamina menyadari kalau suatu saat akan ketemu lawan dalam mendistribusikan BBM subsidi. Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) menetapkan bahwa kegiatan hulu (eksplorasi dan produksi) dan kegiatan hilir (pengolahan, perdagangan dan pengangkutan) dapat dilakukan oleh semua perusahaan yang mempunyai kemampuan.

Walaupun Pertamina lebih dahulu memiliki sarana dan fasilitas distribusi BBM di seluruh nusantara, tetap saja dibuka peluang agar ada pihak lain yang bisa bersaing dengan Pertamina. Pasal 27 UU Migas mengatur, bahwa pada daerah-daerah terpencil, fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan termasuk fasilitas penunjangnya, dapat dimanfaatkan bersama pihak lain. Pelaksanaan pemanfaatan fasilitas diatur oleh Badan Pengatur dengan tetap mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis.

Dengan kata lain, aturan ini mengharuskan fasilitas Pertamina dibolehkan digunakan pihak lain. Yang mempunyai fasilitas di daerah terpencil, kan hanya Pertamina. Sepertinya, Pertamina diharuskan mau mengasuh anak harimau. Walaupun ada kemungkinan si anak harimau menjadi besar dan memangsa pengasuhnya ‘Pertamina’.

Ketika Ari Soemarno menjabat Direktur Utama Pertamina mengatakan, bahwa Pertamina siap menghadapi persaingan dalam mendistribusikan BBM bersubsidi. Asalkan, katanya, perusahaan yang ia pimpin diperlakukan dengan adil. “Jangan Pertamina disuruh mendistribusikan di daerah pinggiran dan sulit yang omzetnya kecil dan biaya distribusi mahal. Sedangkan pihak lain diberikan kesempatan jualan di daerah gemuk dan ramai,” harapnya.

Mengenai fasilitas pengangkutan dan penyimpanan berlebih, Ari Soemarno tidak sependapat kalau sarana yang dimiliki Pertamina diharuskan digunakan oleh pihak lain. “Kami memang memiliki banyak fasilitas distribusi, namun tidak untuk digunakan pihak lain. Lagi pula, kami tidak menganggap fasilitas yang ada berlebih. Kalau toh ada fasilitas yang belum maksimal, itu kan sebagai cadangan”, katanya.

Penetapah harga BBM subsidi selama ini dilakukan berdasarkan harga pasar internasional (MOPS / Mid Oil Plat’s Singapura) ditambah alpha sebagai biaya distribusi dan keuntungan. Awalnya alpha yang diminta Pertamina sebesar 14%. Angka ini dinilai DPR terlalu tinggi, sedangkan Pertamina mengganggap angka ini pantas. Alasannya, di negara lain yang tingkat kesulitas distribusi seperti Indonesia menetapkan alpha sebesar itu. DPR memaksa agar alpha bisa turun agar tidak membebani keuangan negara.

Kalau semula pangsa BBM PSO seratus persen dikuasai oleh Pertamina, kini harus berbagi dengan perusahaan lain. Jika keempat perusahaan pemenang tender BBM PSO ini berlomba menurunkan alpha, maka pendatang baru akan banyak mendapat kesempatan mendistribusikan BBM untuk rakyat. Pertamina harus bisa membuktikan kalau dirinya sanggup menghadapi persaingan (chusnul busro).***

Rabu, 16 September 2009

Repotnya Menggunakan Gas Bumi

Bumi pertiwi dikarunia Allah sumber daya alam yang banyak diantaranya gas bumi, baik berupa gas ikutan yang terangkat bersama-sama minyak bumi maupun yang berasal dari sumur-sumur yang ditemukan di ladang gas.

Untuk memanfaatkan gas bumi, semenjak tahun 1977 Indonesia memasuki era baru dengan mengekspor untuk pertama kalinya LNG. LNG adalah bahan enerji bersih, yang diekspor dalam bentuk cair dan dikenal dengan nama Liquefied Natural Gas. Itulah yang mengantarkan Indonesia menjadi negara produsen utama LNG.

Sedangkan pemanfaatan dalam negeri diantaranya untuk pabrik pupuk Kaltim di Bontang dan Palembang (Sriwijaya), Polyprophylene Plaju dan Carbon Black Plant Rantau. Beberapa industri kemudian juga memerlukan gas bumi, baik sebagai bahan baku maupun untuk bahan bakar. Beberapa pemakai gas diantaranya Pabrik Baja Krakatau Steel, PT PLN, PT PGN dan industri lainnya mulai memanfaatkan gas untuk berbagai keperluan.

Pada mulanya, gas bumi lebih banyak diolah menjadi LNG di Kilang LNG Bontang dan Arun untuk ekspor ke Jepang, Korea dan Taiwan. Ketika produksi minyak mentah dalam negeri terus menurun sedangkan konsumsi terus meningkat, mulai muncul keinginan untuk memaksimalkan pemanfaatan gas bumi.

Untuk bisa menyalurkan gas ke konsumen secara cepat dan aman diperlukan jaringan pipa gas sebagaimana di Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Jawa Timur. Namun, jaringan pipa tak mungkin dibangun jika ada hambatan jarak yang jauh karena dipisahkan oleh lautan ataupun hambatan geografis lainnya.

Untuk jarak yang jauh, gas bumi hanya bisa dikirimkan menggunakan kapal tanker khusus dalam bentuk LNG. Mengubah gas alam menjadi LNG diawali dengan menghilangkan unsur tak diperlukan seperti CO2 dan H2S yang terkandung dalam gas. Untuk menghindari pembekuan di dalam LNG maka kadar air dari gas alam yang masuk harus diturunkan sampai kurang dari 1 ppm. Sesudah memisahkan air dan sebelum gas ini dicairkan maka dilakukan pendinginan tahap pertama. Selanjutnya sebagai tahap akhir gas alam didinginkan dan dicairkan di dalam main heat exchanger sehingga gas menjadi cair, dan pendinginan harus berjalan seterusnya sebelum dimasukkan ke dalam tangki penyimpanan.

Barulah setelah itu LNG siap dikirimkan ke pelabuhan tujuan mengunakan kapal tanker khusus untuk disimpan dalam tanki-tanki yang diisolasi secara khusus. Setelah itu dengan proses regasifikasi, LNG dikembalikan kepada bentuknya yang asli dan kemudian dialirkan kepada para konsumen. Maka pengiriman gas bumi menjadi rumit dan berbiaya tinggi.

Kerepotan itulah yang dialami ketika hendak menggunakan gas bumi berasal dari ladang Donggi – Senoro Sulawesi Tengah untuk dalam negeri. Calon konsumen yaitu PT PLN, PT PGN dan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) keberatan dengan harga gas yang ditawarkan oleh pengelola ladang PT Pertamina (Persero) dan PT Medco E&P.

Harga LNG sampai di Jawa sebesar US $ 12,16 per MMBTU ( Million Matrix British Termal Unit). Harga ini meliputi harga gas di mulut sumur US $ 6,16 per MMBTU, biaya menjadikan LNG US $ 3 per MMBTU, biaya angkut ke Jawa US $ 2 per MMBTU dan regasifikasi US $ 1 per MMBTU.

PT PGN menilai harga gas ini terlalu mahal. Direktur Utama PT PG Hendi Priyo Santoso mengatakan, pihaknya akan kesulitan jika harga pembelian lebih tinggi dari harga gas selama ini. “Apabila gas diubah dalam bentuk LNG, kemungkinan kami tidak akan membelinya. Tetapi masih ada peluang pembelian jika kami bisa kembangkan jaringan distribusi disana”, katanya.

PT PLN juga mengeluhkan tinginya harga gas Senoro. Direktur Utama PT PLN Fahmi Mochtar mengatakan, PLN hanya akan membeli jika pihaknya membangun pembangkit di sekitar mulut ladang gas. Sebab, jika gas tersebut dibawa ke Jawa dalam bentuk LNG harganya menjadi tidak ekonomis.

PT PIM juga ikut keberatan dengan harga gas Senoro. Direktur Utama PT PIM Mashudianto mengatakan, hingga 2011 pihaknya akan fokus untuk mendapatkan gas dari ladang Tangguh di Papua Barat. Menurutnya, harga gas Tangguh memiliki tingkat keekonomian yang bagus dibandingkan gas Senoro. “Harga bahan baku adalah alasan utama karena akan sangat mempengaruhi kinerja, biaya perusahaan, harga jual dan perolehan laba perusahaan,” terangnya.

Kerepotannya bukan hanya untuk mendapatkan konsumen dalam negeri. Namun, juga pada pembangunan kilang LNG di Donggi Senoro. PT Pertamina dan PT Medco tidak sanggup menyediakan dana sendiri Rp. 37 triliun untuk membangun kilang LNG. Harapannya, mitra usaha seperti Kansai Electric Power ikut mendanai proyek besar ini. Karena tidak mendapat kepastian bisa membeli LNG Donggi, perusahaan listrik asal Jepang ini mengundurkan diri sebagai mitra usaha. Memang, gas Donggi diprioritaskan untuk pembeli dalam negeri. Nyatanya, repot juga untuk bisa menggunakan gas sendiri (chusnul busro).***

Kamis, 10 September 2009

Pantaskah Menaikkan Harga Elpiji

Setiap ada kenaikan minyak mentah sering diikuti upaya menaikkan harga elpiji. Ketika harganya berada dikisaran US $ 70 per barrel, Pertamina mengusulkan kenaikan bertahap harga Elpiji sebesar Rp. 100 per kilogram.

Kenaikan harga hanya berlaku untuk tabung 12 kg. Alasannya, harga elpiji saat ini Rp. 5.250 per kg masih dibawah harga ekonomis. Bahan bakar ini tidak tergolong yang diregulasi pemerintah, sehingga harganya harus mengikuti pasar. Terlebih lagi, rata-rata konsumennya kalangan menengah ke atas yang tidak layak mendapat subsidi.

Sedangkan elpiji tabung 3 kg tidak mengalami kenaikan karena termasuk dalam daftar regulasi pemerintah yang mendapat subsidi, sehingga harga sepenuhnya diatur pemerintah.

Tentu saja konsumen tidak setuju adanya kenaikan harga. Mengingat akan ada dampak setelah kenaikan, menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN/Bappenas) Paskah Suzetta merekomendasikan agar harga elpiji 12 kg tidak naik. Alasannya, kenaikan harga berpotensi mempengaruhi tingkat inflasi.

Diakuinya bahwa kenaikan harga elpiji 12 kg memang urusan Pertamina dan mengikuti mekanisme pasar. Namun, karena berkait hajat hidup orang banyak, maka harus dikonsultasikan lebih dahulu.

Konsumen elpiji meliputi rumah tangga menengah dan usaha kecil menengah (UKM), seperti rumah makan. Maka, dimungkinkan terjadi lonjakan inflasi akibat kenaikan harga ini. Hal ini dikuatkan dengan hasil riset Biro Kebijakan Moneter Bank Indonesia bahwa bobot harga Elpiji 12 kg terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK) makin tinggi seiring program konversi minyak tanah ke elpiji. Karena itu, potensi kenaikan harga elpiji menuju harga keekonomian akan mendorong laju inflasi.

Harga keekonomian elpiji saat ini Rp. 7.000 per kg, sehingga Pertamina mengalami kerugian Rp. 200 per kg. Dalam setahun kerugian bisa mencapai Rp. 6 triliun. Tentu saja kerugian ini harus ditanggung oleh Pertamina sendiri karena tidak ditanggung oleh Pemerintah.

Pertamina mengklaim telah mendapat persetujuan pemerintah untuk menaikkan harga elpiji. Harga elpiji 12 kg yang semula Rp. 51.000 menjadi Rp. 63.000. Harga baru itupun belum mencapai harga keekonomian, jadi masih memungkinkan untuk naik kembali.

Untuk mengurangi dampak inflasi, kenaikan harga tidak akan dilakukan hingga lebaran. Keputusan ini diambil agar tidak memberatkan masyarakat atau konsumen. Belakangan, Pertamina menjamin harga lama tetap dipertahankan hingga akhir tahun ini. Bahkan masih dengan harga lama, BUMN ini mengamankan stok selama puasa dan menjelang lebaran dengan melakukan impor. Konsumsi normal elpiji selama ini 9.000 MT per hari dengan ketahanan stok selama 25 hari atau 223.970 MT. Sebagai antisipasi kenaikan konsumsi, stok ditambah 40 ribu MT dari impor.

Jika harga minyak mentah hingga akhir tahun tidak juga turun, tentu saja keinginan Pertamina untuk mempertahankan harga elpiji yang berlaku semenjak 2008 ini tak akan dapat dilakukan. Meneg BUMN Sofyan Djalil mengangap kenaikan harga ini tidak akan memberatkan masyarakat, karena kenaikan dilakukan bertahap. Penyesuaian harga dilakukan karena sesuai undang-undang APBN bahwa BUMN tidak diperbolehkan mensubsidi.

Sementara itu, Sekretaris Kementrian BUMN Said Didu mengatakan, jika harga tidak dinaikkan akan memberatkan Pertamina dan bisa menghentikan usaha, maka harus ada solusinya.

Tatkala Pertamina didorong berkelas dunia, tentu memerlukan dana besar untuk mengembangkan usaha. Pada tahun 2009 ini Pertamina cari tambahan utang Rp. 6,2 triliun untuk memenuhi kebutuhan belanja modal. Keseluruhan belanja modal sebenarnya Rp. 22 triliun, sebanyak 60% atau Rp. 13,2 triliun dari total kebutuhan dana itu diusahakan dari pinjaman pihak luar. Perseroan telah mendapakan komitmen pinjaman Rp. 7 triliun sehingga masih memerlukan tambahan dana Rp. 6,2 triliun lagi.

Jika harga elpiji tidak dinaikkan dan harga minyak mentah terus naik, maka pinjaman ini tidak lagi cukup untuk mengembangkan usaha malah digunakan untuk menutupi kerugian elpiji sebesar Rp. 6 triliun. Sangat ironis (ch.busro).***

Kamis, 28 Mei 2009

SEBERAPA BANYAK MINYAK KITA

Banyak yang menyesalkan kondisi perminyakan kita. “Kita ini negara kaya minyak. Kenyatannya, tidak bisa memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga harus impor minyak mentah maupun BBM. Akhirnya, harus terusir dari kelompok negara pengekspor minyak (Organizational Petroleum Exporter Countries = OPEC). Ini karena salah urus,” keluh banyak orang.

Sebenarnya, seberapa banyak kandungan minyak dan gas (migas) di bumi pertiwi ini. Tak ada yang tahu pasti seberapa banyak minyak kita dan dimana pastinya minyak berada. Yang bisa dilakukan hanya kira-kira dan dugaan saja.

Untuk membuktikan adanya minyak hanya bisa dilakukan dengan melakukan pemboran. Dibagian mana bumi yang akan dibor, dilakukan dengan menerka-nerka saja. Semula (semenjak 100 tahun lalu), pada umumnya pemboran dilakukan di tempat yang terdapat rembesan minyak ke permukaan bumi.

Dengan kemajuan teknologi, sebelum dilakukan pemboran terlebih dahulu dilakukan kegiatan pembuatan peta topografi wilayah yang diperkirakan terdapat minyak. Pembuatan peta dapat dilakukan dengan pemotretan dari udara. Cara ini paling efektif dibanding pemetaan di daratan, yang memerlukan waktu lama dan menghadapi kendala alam, seperti hutan belantara, rawa-rawa, tebing gunung dan gangguan binatang buas.

Setelah daerah yang diselidiki ditetapkan, selanjutnya para ahli bumi (geologi) masuk ke hutan-hutan atau rawa-rawa untuk mengadakan penyelidikan yang lebh teliti. Mereka mencari contoh-contoh batu atau lapisan batu yang muncul di permukaan karang atau tebing-tebing untuk diperiksa di laboratorium. Para geolog juga melakukan pemboran dangkal (shallow drilling) untuk mendapatkan contoh-contoh batu di dalam tanah.

Setelah itu, dilakukan penyelidikan seismik, yaitu dengan cara menimbulkan gempa kecil atau getaran-getaran di bawah tanah. Dinamit diledakkan sedalam 30 meter di dalam tanah. Ledakan dilakukan beberapa kali pada beberapa titik. Gelombang-gelombang getaran dari ledakan ini turun ke bawah dan memantul kembali ke permukaan bumi. Pantulannya menjadi kuat bila membentur pada batuan-batuan keras dan lemah bila terbentur pada batuan-batuan yang lunak. Getaran-getaran tersebut direkam dan kemudian hasilnya dibuat peta lapisan bawah tanah. Peta ini menggambarkan kondisi batuan, sehingga dapat diperkirakan tempat keberadaan minyak.

Minyak pada umumnya berada di lapisan batu-batuan yang banyak berlubang. Karena minyak lebih ringan dari air, maka minyak lalu mencari bagian tertinggi diantara semua lapisan. Disitulah minyak akhirnya terperangkap.

Pengeboran eksplorasi

Untuk membuktikan kebenaran perkiraan ini, ya harus dilakukan pemboran. Jika pemboran terletak di hutan, terlebih dahulu harus dibangun jalan atau merencanakan pengangkutan lewat udara. Berbagai fasilitas lain juga harus disiapkan, seperti asrama, bengkel, listrik, air dan kebutuhan lain. Setelah itu, barulah dibangun menara bor. Jika pemboran di laut, maka diperlukan ponton untuk menampung fasilitas tadi.

Pemboran dapat dilakukan hingga kedalaman 3000 meter. Setiap pemboran diperlukan semacam lumpur yang mengandung bahan-bahan kimia. Lumpur ini dimasukkan kedalam lubang sumur sebagai alat pelicin dan pendingin pahat (mata bor) serta untuk menyumbat sisi-sisi lubang supaya tidak longsor. Lumpur ini kemudian naik kembali ke atas permukaan tanah dengan membawa kepingan-kepingan batu yang dikerat oleh pahat bor. Pemboran dinyatakan berhasil jika terdapat indikas-indikasi minyak pada kepingan-kepingan batu atan tanah yang terbawa lumpur dari dalam sumur ke atas permukaan.

Pengeboran yang dilakukan pertama kalinya ini disebut pengeboran eksplorasi. Walaupun diindikasikan terdapat minyak, jika jumlahnya tidak cukup banyak, pengeboran tidak akan dilanjutkan karena tidak ekonomis untuk diusahakan. Itulah sebabnya mencari minyak ada unsur ‘gambling’ atau untung-untungan. Biaya yang dikeluarkan cukup besar, sedangkan hasilnya belum tentu didapat.

Kandungan minyak di negara kita masih ‘menjanjikan’. Tahun ini sudah ditetapkan 11 wilayah kerja (WK) migas pemenang tender dengan komitmen investasi sebesar Rp. 2,07 triliun.

Dari hasil kajian eksplorasi yang telah dilakukan, cadangan terbukti 2008 sebesar 3,75 miliar barel minyak dan 112,48 Trillion Cubic Feet (TCF) gas. Sedangkan cadangan potensial, yaitu perkiraan berdasarkan kajian tanpa dilakukan pemboran besarnya 4,47 miliar barel minyak dan 75,60 TCF gas.

Jika cadangan terbukti tidak bertambah dan setiap hari minyak diproduksi sebesar 960 ribu barrel, maka minyak akan habis pada 11 tahun mendatang. Sedangkan gas akan bertahan hingga 39 tahun mendatang, jika produksi gas sebesar 8 juta kaki kubik seperti saat ini (chusnul busro).***

Jumat, 22 Mei 2009

MINYAK UNTUK KITA

Bumi dan seluruh isinya diciptakan Tuhan untuk manusia. Semua yang ada di atas atau permukaan bumi dan yang di dalam perut bumi, diserahkan kepada manusia untuk mengelolanya. Sebelum manusia diciptakan, terlebih dahulu diciptakan bumi yang sudah siap huni..

Para ahli ilmu astronomi berpedapat bahwa penciptaan alam diawali dengan terjadinya ledakan besar energi cikal bakal alam (teori Big Bang). Teori ini berdasarkan kenyataan, alam semesta saat ini sedang mengembang. Hal ini sesuai dengan pengamatan yang dilakukan dengan teleskop Hubble milik Amerika Serikat yang diluncurkan NASA pada 1990. Teleskop yang sangat canggih ini mencatat bahwa semua benda langit sedang bergerak saling menjahui. Dan itu terjadi secara merata di berbagai penjuru langit.

Para pakar memperkirakan kejadian itu berlangsung pada 12 miliar tahun yang lalu. Dalam kurun waktu itu alam semesta mengalami pendinginan secara berangsur-angsur. Bersamaam dengan itu, tercipta benda langit secara bertahap seperti nebula, galaksi, matahari, planet dan satelit.

Diantara sekian banyak planet yang ada, yang paling ideal kondisinya untuk bisa memunculkan kehidupan adalah bumi. Di bumi tersedia daratan untuk kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Di bumi juga tersedia air yang berlimpah. Sekitar 2/3 permukannya ditutupi oleh air. Di perut bumi juga tersedia berbagai kandungan yang dapat dimanfaatkan manusia.

Proses penciptaan alam yang panjang ini untuk menyongsong keberadaan manusia yang diperkirakan baru muncul sekitar 10 juta tahun yang lalu.

Minyak Bumi

Salah satu kandungan di perut bumi yang bisa dimanfaatkan manusia berupa minyak dan gas bumi (Migas). Manusia tidak tahu pasti bagaimana proses terjadinya Migas. Dugaan terjadinya minyak berasal dari berbagai jenis organisme laut, hewani dan nabati. Beraneka makhluk, utamanya ikan besar dan kecil serta aneka fosil atau rangka makhluk yang sudah mati terbenam di bawah lapisan endapan-endapan lumpur dan pasir jauh di dasar lautan.

Bersama lapisan-lapisan tersebut, mengendap pula lumpur-lumpur lain yang bercampur dengan bahan-bahan organik. Benda tersebut dihanyutkan oleh sungai-sungai dari darat ke laut. Sebagai akibat dari tindihan lapisan-lapisan yang berat itu, ditambah daya berar air laut, yang sama-sama menekannya ke bawah, endapat-endapat pasir dan lumpur tadi berubah menjadi lapisan batu atau karang yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan lapisan sedimen.

Lapisan sediment ini ada yang tercipta dari butiran-butiran kecil yang melekat satu sama lain. Batu atau lapisan itu mempunyai lubang-lubang kecil atau pori yang dapat ditembus oleh cairan. Butiran-butiran yang sangat halus ini mengendap di lautan yang letaknya lebih jauh dari pantai dan kemudian membentuk batuan tanah liat yang disebut serpih (shale). Lapisan-lapisan tersebut kemudian makin lama makin menebal sampai ratusan bahkan ribuan meter.

Proses ini berlangsung selama jutaan tahun secara berkelanjutan. Meskipun tidak diketahui dengan pasti bagaimana bahan-bahan yang terdapat dalam lapisan-lapisan sedimen itu menjadi migas, namun inilah tahapan awal terjadinya pembentukan migas. Bahan-bahan utama ini berubah semula padat menjadi cair, setengah cair atau menjadi gas.

Diduga, proses terbentuknya migas itu terjadi sejak 500 juta tahun. Tapi ada juga yang memperkirakan 1000 juta tahun lalu, bahkan ada yang berpendapat 2000 juta tahun lalu.

Sementara proses penciptaan minyak berlangsung, bentuk permukaan bumi mengalami perubahan pula. Sebagian permukaan ada yang terdorong ke atas dan ada yang terdorong ke bawah. Lapisan-lapisan batu yang terdapat di bawahnya tergencet ke samping sehingga berkerut atau terlipat dan menjadi retak-retak. Inilah yang membuat bumi kita berbentuk seperti sekarang ini, ada benua, pulau dan samudera.

Bersamaan dengan itu, ada batu sedimen yang mengandung minyak terdorong dari bawah ke atas permukaan laut. Itulah sebabnya mengapa batu-batu yang mengandung minyak itu tidak selalu terdapat di bawah laut, tetapi terdapat juga di daratan.

Pada proses terjadinya minyak, ia bergerak atau migrasi mencari lapisan-lapisan yang banyak berlubang renik (porosus), disitulah ia terkumpul yang biasa disebut “reservoir bed’ atau reservoir rock”. Lapisan seperti inilah yang dicari-cari oleh para ahli pertambangan.

Karena reservoir rock itu mengandung air di lubang-lubangnya dan minyak lebih ringan dari air, maka minyak lalu mencari bagian tertinggi diantara semua lapisan. Pengembaraanya terhenti pada bagian yang ditutupi oleh batuan-batuan yang kedap udara (cap rock). Disitulah minyak akhirnya terperangkap (chusnul busro).***

Senin, 18 Mei 2009

BERALIH KE ‘GAS KOTA’ YUK

Kota Surabaya dan Palembang menjadi pilot proyek ‘gas kota’. Dengan biaya APBN, akan dibangun infrastruktur jaringan untuk memenuhi 3.200 rumah tangga di Surabaya dan 4.200 di Palembang.

Lapindo Brantas Inc sanggup memasok gas 2 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dari lapangan di Sidoarjo. Dari kota udang ini, gas dialirkan melalui pipa sepanjang 30 kilometer untuk warga di Kelurahan Rungkut Kidul dan Kali Rungkut. Sedangkan pasokan gas di Palembang diharapkan dipenuhi Medco EP Indonesia sebesar 1 MMSCFD.

Warga diharapkan antusias menyambut proyek ini. Harga gas dijamin murah sekitar Rp. 2,000 per meter kubik (m3). Dengan asumsi kebutuhan per bulan 15 m3, setiap rumah tangga hanya perlu mengeluarkan uang Rp. 30.000. Hanya saja konsumen dibebani biaya instalasi pipa per rumah tangga sekitar Rp. 1 juta. Pengeluaran yang hanya sekali saja ini, tetap menguntungkan dibandingkan menggunakan LPG yang bisa mencapai Rp. 100.000 per bulan.

Ada keuntungan lain bagi konsumen gas kota, menggunakannya mudah seperti membuka kran air di rumah saja. Insya Allah pasokannya terjamin, selama sumur gas masih berproduksi. Tidak seperti menggunakan LPG yang sering tidak tersedia. Resiko kebakaran atau ledakan sangat rendah. Mengingat gas kota bertekanan rendah tidak seperti LPG yang bertekanan tinggi. Walaupun gas LPG sudah diberi tambahan bau agar mudah terpantau jika terjadi kebocoran, tetap saja sering mengakibatkan kebakaran.

Memang murah

Gas kota memang murah. Gas yang dihasilkan dari sumur gas (gas well) maupun gas ikutan dari sumur minyak (associated gas) bisa langsung digunakan untuk pembakaran. Dengan dilakukan pemisahan (separasi) cairan (minyak dan air), gas siap digunakan. Agar biaya insfrastuktur jaringan pipa tidak mahal, dipilih gas yang dihasilkan dari lapangan Migas dekat kota seperti Sidoarjo.

Sedangkan untuk menghasilkan gas LPG harus dilalui serangkaian proses yang rumit dan panjang, sehingga konsumen harus membayar biaya lebih mahal. Proses ini diawali mendatangkan minyak mentah (crude) ke kilang Bahan Bakar Minyak. Jika crude tersedia dekat kilang tinggal dialirkan melalui pipa.

Seiring dengan semakin menipisnya cadangan minyak, pada umumnya crude didatangkan dari negara lain (impor). Maka memerlukan proses pengapalan dan penyimpanan dalam jumlah besar agar ekonomis.

Selanjutnya, crude diolah melalui pemanasan hingga 3600 celcius (primary proces) agar terjadi pemisahan komponen minyak. Komponen yang paling ringan menjadi gas, diikuti komponen BBM lain hingga residu.

Agar residu minyak menjadi bernilai, dilakukan proses lanjutan (secondary proces) dengan teknologi bejana vacuum ataupun perengkahan komponen minyak (hydrocracker). Melalui proses ini kembali dihasilkan gas dan komponen BBM. Gas yang dihasilkan kilang ini, selanjutnya dilakukan pemampatan agar gas berubah menjadi cair (LPG = Liquid Petroleum Gas).

Untuk mendekatkan dengan konsumen LPG diangkut dengan kapal ataupun truk khusus ke instalasi pengisian. Di tempat inilah LPG dibotolkan dan kembali diangkut ke konsumen. Bagi konsumen yang jaraknya jauh dari instalasi pengisian LPG (lebih dari 60 kilometer), harus membayar harga lebih mahal karena menanggung biaya tambahan transportasi.

Jika rumah kita terjangkau berlangganan gas kota sebaiknya beralih ke gas yang sedang promo ini. Tak perlu beli kompor baru, dengan kompor yang selama ini digunakan memasak menggunakan LPG bisa digunakan untuk gas kota.

Harap bersabar, proyek ini dijanjikan akhir tahun 2009 bisa dinikmati. Jika berhasil, jumlah pelanggan akan ditambah dan dikembangkan di kota lain. (chusnul busro).***

SOLAR BERLEBIH, SOLAR LANGKAH

Selama ini PT Pertamina (Persero) rutin mengimpor solar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Lesuhnya kegiatan industri, kini tidak perlu impor lagi. Bahkan produksi solar yang dihasilkan dari kilang Pertamina melebihi konsumsi. Agar kelebihan produk ini tidak memenuhi tanki timbun, yang bisa mengakibatkan terganggunya produksi karena tak ada lagi tempat menyimpan, maka solar dijual kepada pihak swasta.

Saat ini produksi solar dalam negeri mencapai 99,49 Juta barel, sedangkan konsumsi 73,59 juta barel. Selain produksi dari kilang yang ada (Pertamina), pasokan solar juga akan bertambah dengan beroperasinya kilang baru. Yaitu kilang Tri Wahana Universal di Bojonegoro Jatim, yang kapasitasnya 6.000 barel per hari. Ada juga kilang Muba di Musi Banyuasin Sumatera Selatan, dengan kapasitas 800 barel per hari.

Pada Maret dan April ini Pertamina menandatangani kontrak penjualan solar ke lima perusahaan swasta. Total volumenya mencapai 103.800 kiloliter (KL). Perusahaan tersebut adalah PT Jagad Energy membeli 3.800 KL akan dipasok dari Tanjung Uban dan Depot Balikpapan. PT AKR Corporindo membeli 60.000 KL dipasok dari Tanjung Gerem. PT Petronas Niaga Indonesia membeli 28.000 KL dipasok dari Belawan, Samarinda, Kotabaru dan Merak. Ada juga PT Toyota Tsusho Indonesia membeli 10.000 KL dari Kotabaru.

Kelebihan solar ini ternyata tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat pada Bahan Bakar Minyak (BBM) ini. Ketika Pertamina menjual solar kepada pihak swasta, ternyata masih terjadi kelangkaan BBM. Nelayan asal Kecamatan Blanakan, Subang, Jabar terancam tidak bisa melaut, karena kesulitan mendapat solar pada awal April lalu.

Mereka mengamuk di SPDN (Solar Package Dealer Nelayan) atau stasiun pengisian bahan bakar solar khusus untuk nelayan. Fasilitas terletak dekat tempat pelelangan ikan ini nyaris dibakar. Untuk melampiaskan kekesalannya, nelayan melempar jeriken dan menggulingkan puluhan drum kosong.

Nelayan biasanya menerima pasokan melalui SPDN sebanyak 16.000 KL setiap hari. Kini hanya menerima separuhnya sekitar 8.000 KL. Mereka menduga, penyebabnya karena perubahan titik suplai yang semula dari Depot Balongan dipindah ke Depot Cikampek.

BBM SUBSIDI

Solar untuk nelayan yang dijual melalui SPDN tergolong BBM bersubsidi. Tak ada yang bisa menjamin bahwa BBM subsidi selalu tepat waktu, tepat tempat dan tepat jumlah. Jika konsumsi melampaui kuota yang telah ditetapkan sesuai kehendak DPR RI, tetap saja Pertamina hanya memenuhi sesuai batasan. Tentu saja hal ini berakibat terjadi kelangkaan.

Pertamina mendapat ganti subsidi sesuai BBM yang dijual asalkan tidak melebihi batas yang ditentukan tadi. Jika melebihi kuota maka kelebihan ini tidak diganti oleh pemerintah. Pertamina harus menanggung kerugian sendiri jika penjualan BBM subsidi melebihi batas. Sebagai BUMN yang dituntut memberikan keuntungan, Pertamina terpaksa membatasi penjualan agar tidak menderita kerugian. Tentu saja berdampak pada masyarakat (konsumen), karena tidak tersedia BBM dalam jumlah cukup.

Kelangkaan BBM subsidi juga sering terjadi ketika harga minyak mentah (crude) tinggi. Pada saat crude dikisaran US $ 100 per barrel, harga solar non subsidi bisa mencapai Rp. 6.000 hingga Rp. 7.000 per liter. Padahal harga solar subsidi tetap saja Rp. 4.300 per liter.

Perbedaan harga yang cukup besar ini, mendorong beberapa pihak menyalah gunakan solar. Solar di SPDN yang seharusnya dijual kepada nelayan, bisa saja dialihkan ke kapal yang tidak layak mendapat harga subsidi. Begitu juga solar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), memungkinkan dijual kepada industri. Ini dilakukan demi mendapat keuntungan berlipat.

Pertamina tidak bisa menjamin BBM subsidi tidak beralih kegunaan. Perusahaan hanya bisa mengawasi hingga di lembaga retail resmi (seperti SPDN dan SPBU). Peredaran BBM diluar retail resmi bukan lagi tanggung jawab Pertamina untuk melakukan pengawasan.

Menurut Undang-Undang Migas nomor 22 tahun 2001, ada sangsi berat bagi yang menyalah gunakan BBM bersubsidi. Sudah banyak yang mendapat sangsi pelanggaran ini. Namun masih banyak lagi yang tidak terjangkau. Maklum tempat yang memungkinkan terjadinya penyalah gunaan sangat luas.

Stok BBM berlimpah tidak selamanya menjamin kebutuhan masyarakat terpenuhi (chusnul busro)***

ADA APA DENGAN KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA

Perjanjian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sering dituding sebagai biang keladi tidak beresnya perminyakan Indonesia. Ketika Produksi Minyak dan Gas Bumi (Migas) tidak kunjung naik bahkan cenderung terus menurun, maka kehadiran kontraktor asing dianggap sebagai penghambat. Kontraktor juga dinilai suka menggelembungkan biaya operasi yang harus ditanggung pemerintah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya dugaan penyimpangan keuangan sektor Migas Rp. 14,58 triliun. Ada apa dengan kehadiran perusahaan minyak asing ini ?

Industri perminyakan di Indonesia dimulai tahun 1885 dengan penemuan ladang minyak di Telaga Said Sumatera Utara. Disusul penemuan minyak di Ledok Jawa Barat, Muara Enim Sumatera Selatan dan Sanga-Sanga Kalimantan Timur.

Perusahaan minyak di Indonesia diberikan daerah konsesi pertambangan dengan membayar sejumlah royalty kepada pemerintah Hindia Belanda dan mengikuti perjanjian Kontrak Karya (KK) tahun 1899.

Setelah Indonesia merdeka pada 1945 ada keinginan menguasai industri minyak yang ada di dalam negeri. Ini sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Untuk menggantikan perjanjian KK, Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina memperkenalkan perjanjian pengelolaan Migas yang dikenal dengan Production Sharing Contract (PSC) pada tahun 1966. Kini perjanjian ini dikenal dengan nama Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Pada prinsipnya perjanjian ini menetapkan bahwa Pertamina (mewakili pemerintah) sebagai pemegang manajemen operasi. Kontraktor bertanggung jawab kepada Pertamina atas pelaksanaan operasi sesuai program kerja yang disetujui. Kontraktor juga harus menyediakan dana dan teknologi untuk mendapatkan minyak.

Mencari minyak mempunyai tingkat resiko kegagalan tinggi. Kontraktor menanggung semua kerugian atas biaya yang dikeluarkan. Dimulai dari kegiatan penelitian, survei seismik hingga pengeboran eksplorasi. Masa berlakunya perjanjian biasanya 6 hingga 10 tahun untuk eksplorasi dan 30 tahun jika lapangan minyak layak diproduksi secara komersial.

Karena Pertamina sebagai pengatur maka kontraktor berkewajiban menyiapkan program kerja tahunan dan rencana anggaran biaya untuk disetujui oleh Pertamina. Semua peralatan yang dibeli oleh kontraktor menjadi milik Pertamina ketika tidak lagi beroperasi dan meningalkan Indonesia. Disamping itu, semua data operasi juga menjadi milik Pertamina.

Disamping Kontraktor harus mengikuti aturan pajak yang berlaku, kontraktor diharuskan memenuhi kebutuhan enerji dalam negeri biasa disebut Domestic Market Obligation (DMO). Jumlah DMO bisa mencapai sekitar 25% produksi.

COST RECOVERY

Walau kontraktor harus menanggung semua kerugian biaya operasi jika gagal menemukan minyak. Namun jika berhasil maka semua biaya operasi semenjak eksplorasi dan biaya produksi mendapat penggantian (cost recovery). Selanjutnya, hasil bersih dibagi antara kontraktor dan pemerintah.

Mulanya bagi hasil sebesar 60% untuk pemerintah dan 40% untuk kontraktor. Pada perjalanan selanjutnya, bagi hasil lebih menguntungkan pemerintah menjadi 85% untuk pemerintah dan 15% untuk kontraktor.

Jadi kalau sebuah ladang minyak menghasilkan Migas seharga Rp. 1.000 dan biaya operasi sebesar Rp. 400 maka hasil bersih sebesar Rp. 600. Bagian pemerintah sebesar Rp. 510 dan bagian kontraktor Rp. 90 (dalam prakteknya yang dibagi bukan uang tetapi hasil Migas).

Kontraktor bersedia menerima bagian yang sepertinya kecil, karena adanya cost recovery ini. Belakangan, cost recovery dinilai pangkal ketidak beresan yang merugikan keuangan negara dengan cara memark up biaya.

Sebenarnya ada mekanisme supaya cost recovery tidak dipermainkan. Bukankah kontraktor terlebih dahulu diharuskan membuat anggaran biaya. Sebelum tahun 2001, ketika Pertamina masih mengatur kontraktor, ada Bagian yang bernama Badan Pembinaan Pengusaan Kontraktor Asing (BPPKA). Badan inilah yang mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan kegiatan kontraktor baik operasional maupun biaya operasi. Disamping itu, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap kontraktor atas kegiatan operasional dan keuangannya.

Setelah Pertamina tidak lagi mengawasi kontraktor, peran lembaga ini digantikan oleh Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Guna meningkatkan kinerja kontraktor dan mengurangi kemungkinan cost recovery digelembungkan, maka BP Migas harus terus menerus meningkatkan pengawasan (chusnul busro).***

SWASTANISASI SPBU

PT Pertamina (Persero) menetapkan aktivitas pemasaran Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk konsumen kendaraan bermotor menggunakan saluran pemasaran satu tingkat. BBM jenis premium dan solar didatangkan dari Depot penimbunan, dikirimkan ke sarana retail Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Pada mulanya, SPBU ini merupakan milik Pertamina. Semua sarana SPBU merupakan asset perusahaan. Perawatan dan perbaikan sarana ditanggung oleh Pertamina. Perusahaan plat merah ini harus menyediakan tim tukang pompa, untuk memperbaiki kerusakan pompa di semua SPBU. Perusahaan juga menyediakan tim teknik yang melakukan perencanaan dan perawatan fasilitas SPBU.

Mitra usaha (pengusaha) menyediakan dana (Cash Bonus) sebesar separuh dari nilai asset SPBU. Tanpa perlu repot mengurusi banyak hal berkaitan dengan perawatan asset, pengusaha tinggal menjalankan operasi penjualan BBM.

Cara ini semakin lama dirasakan memberatkan Pertamina. Upaya menambah SPBU terhambat karena perusahaan harus menyediakan dana yang cukup besar. Maka, pada awal tahun 1990-an mulai dilakukan swastanisasi SPBU. Asset SPBU dinilai menurut kondisi saat itu, dijual kepada mitra dengan memperhitungkan Cash Bonus yang pernah dibayar.

Semenjak itu, pengusaha harus menyediakan sendiri modal untuk membangun SPBU. Perawatan dan perbaikan fasilitas SPBU juga harus dilakukan sendiri oleh pengusaha. Kewajiban Pertamina hanya menyediakan BBM sesuai alokasi yang ditentukan.

Dengan swastanisasi, penambahan SPBU tumbuh cepat. Terlebih pada akhir-akhir ini Pertamina mempermudah ijin membangun fasilitas penjualan ini. Disisi lain, swastanisasi berarti mendelegasikan berbagai tugas penjualan kepada Mitra. Delegasi ini berarti melepaskan sejumlah pengendalian. Pertamina seolah-olah meletakkan nasib perusahaan ke tangan Mitra.

Sepuluh tahun kemudian terjadi perubahan pengelolaan Minyak dan Gas Bumi (Migas) di dalam negeri. Dengan adanya Undang-Undang Migas nomor 22 tahun 2001, Pertamina tidak lagi merupakan satu-satunya perusahaan yang memasarkan BBM dalam negeri. Kini sudah ada tiga perusahaan minyak asing yang mengelola SPBU, yaitu Shell, Petronas dan Total.

Mengingat SPBU didominasi warna merah dengan logo anak panah (Pertamina) adalah milik swasta (Mitra), maka sangat memungkinkan pengusaha memodifikasi SPBU dengan merubah warna dan berganti logo. Jika kemitraan dengan pihak asing lebih menguntungkan, bukan mustahil pada saatnya nanti SPBU yang semula menjual BBM dari Pertamina berganti menjual produk BBM asing.

Kemitraan dengan Pertamina, mengharuskan pengusaha menebus DO (Delevery Order) dengan membayar tunai terlebih dahulu untuk mengadakan BBM. Pengiriman minyak hanya dilakukan jika dapat menunjukkan DO ini. Jika perusahaan minyak asing, misalnya, menawarkan pengiriman minyak terlebih dahulu dan dibayar setelah minyak terjual. Atau memberikan keuntungan per liter BBM lebih besar. Atau bisa juga dengan berganti logo diharapkan penjualan meningkat, maka sangat memungkinkan SPBU ini berganti logo.

Nampaknya Pertamina menyadari, tidak mau sepenuhnya nasibnya ditentukan oleh Mitra. Kini Pertamina membangun SPBU COCO (Company Own, Company Opereted). SPBU didanai sendiri dan dioperasikan sendiri. Hanya saja jumlahnya belum banyak karena harus menyediakan modal besar dan lahan strategis.

Boleh jadi, kalau seandainya dari awal Pertamina mengetahui bahwa pada tahun 2001 akan ada UU Migas, tentu Pertamina tidak akan menswastakan SPBU-nya (chusnul busro).***

Jumat, 27 Maret 2009

SPBU ASING MARAK

Perusahaan perminyakan asal Perancis, Total, ikut meramaikan bisnis pompa bensin di Indonesia. Dua buah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dioperasikan di Jakarta Barat dan Jakarta selatan (23/3). Retail BBM ini merupakan langkah awal mengembangkan bisnisnya di Indonesia.. Perusahaan yang semula dikenal bergiat di bidang hulu (eksplorasi), mengoperasikan ladang besar di Kalimantan Timur, kini sudah memasuki sektor hilir di negara kita. Perusahaan berkelas dunia ini, memiliki 500 SPBU di beberapa Negara.

Sebelumnya, sudah ada dua perusahaan asing yang memasuki sektor hilir Migas di Indonesia. Perusahaan asal Belanda, Shell dan Petronas (Malaysia) juga memiliki SPBU serupa di Jakarta. Shell merencanakan membangun 1000 – 1500 SPBU di Indonesia. Sedangkan Petronas merencanakan 200 – 500 SPBU. Belum diketahui berapa SPBU yang direncanakan oleh Total.

Saat ini, SPBU asing hanya menjual BBM beroctan tinggi sekelas Pertamax untuk konsumsi mobil ber CC besar. Tentu saja ini hanya langkah awal, nantinya mereka bermaksud akan menjual BBM bersubsidi seperti premium dan solar. SPBU asing tak mungkin selamanya mengandalkan hanya berjualan BBM non subsidi, karena konsumennya tidak begitu besar.

Untuk menarik konsumen lokal yang gemar produk impor, SPBU asing ini menawarkan layanan yang memanjakan pembeli. Disamping takaran tepat dan citra yang baik, mereka menawarkan layanan tambahan, seperti keramah tamahan dan lainnya. Jika ambisi mereka berjalan sesuai rencana, maka pangsa pasar Pertamina pada retail BBM tinggal separuhnya.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) sudah beberapa kali menawarkan ke pihak swasta / asing untuk ikut menjual BBM bersubsidi. Karena diwajibkan oleh undang-undang untuk menyediakan sarana penampungan yang mencukupi, beberapa peminat dinyatakan tidak memenuhi syarat. BPH Migas terus mendorong agar pihak swasta dapat ikut ambil ambil pada bisnis retail BBM. Diantaranya dengan membagi wilayah penjualan lebih sempit, agar mudah dimasuki ‘lawan Pertamina’.

Disisi lain, Undang- Undang Migas (UU No.22/2001), mewajibkan perusahaan yang memiliki sarana penampungan membolehkan dipakai oleh pihak lain. Hingga saat ini perusahaan yang memiliki sarana penampungan yang memadai tentu saja hanya Pertamina. UU ini jelas produk bangsa sendiri nyatanya memberi peluang agar asing mudah masuk ke Indonesia dan Pertamina harus mengalah.

Kini giliran Pertamina harus siap menghadapi gempuran asing. SPBU yang ada harus sanggup bersanding dan berhadapan dengan pendatang berkelas dunia.***

Rabu, 25 Maret 2009

Pertamina Itu Besar, Tapi Kecil

PT Pertamina (Persero) tergolong perusahaan besar. Keberadaannya ada dimana-mana, bisa dilihat dari logo perusahaan berupa anak panah ini banyak ditemui di mobil-mobil tangki, Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) dan di banyak tempat lainnya.

Besarnya perusahaan dapat dilihat dari banyaknya asset dan sarana yang tersebar di banyak tempat. Lihat saja lapangan eksplorasinya ada di Region Jawa, Region Sumatera dan Region Kawasan Timur Indonesia. Di sektor hilir (Pengolahan dan distribusi), perusahaan memiliki 7 kilang dengan kapasitas 1 juta bph (barrel per hari), lebih dari 100 depot penimbunan dan 40-an depot pengisian pesawat udara (DPPU). Sedangkan fasilitas retail, SPBU, tersebar di sudut-sudut jalan.

Keperkasaan BUMN penyedia energi ini, juga bisa dilihat dari besarnya pendapatan (tahun 2008 sebesar Rp. 540 triliun). Perolehan laba bersih terus bertambah. Pada tahun 2004 meraih keuntungan Rp. 15.38 triliun. Pada tahun-tahun berikutnya, keuntungan terus meningkat. Tahun 2005 meraih Rp. 16,45, 2006 Rp 19.02 triliun, 2007 Rp. 24.5 triliun dan pada 2008 Rp. 30 triliun.

Namun, jika disandingkan dengan perusahaan minyak nasional dari negara lain, Pertamina terlihat kecil. Menurut analisa konsultan Mc Kinsey, Pertamina di urutan ke 43 dalam hal perolehan laba. Perusahaan minyak dari negara sebelah, Petronas ada di urutan 7, dan PetroChina ada di urutan 5.

Di sector hulu, Pertamina tidak punya posisi kuat dibandingkan dengan perusahaan minyak nasional lain. Produksi minyak Pertamina dikisaran 140 ribu BPH (barrel per hari) dan gas di kisaran 1 juta kaki kubik per hari (MMCF). Kalah jauh dibandingkan dengan Petronas, yang mampu berproduksi minyak di kisaran 600 ribu BPH dan gas mendekati 5 juta MMCF. Dengan PetroChina juga kalah jauh. Perusahaan asal china ini memproduksi minyak di kisaran 2 juta bph dan gas mendekati 3 juta MMCF. Terlebih lagi kalau dibandingkan dengan Saudi Aramco tentu tak tertrandingi. Perusahaan asal Arab Saudi ini menghasilkan minyak mendekati 10 juta BPH dan gas di kisaran 6 juta MMCF.

Merasa posisinya kecil dibandingkan dengan perusahaan lain, tidak menyurutkan tekad Dirut Pertamina, Karen Agustiawan, untuk mewujudkan perusahaan berkelas dunia. Program transformasi yang telah dilakukan Direksi terdahulu tetap dilanjutkan. Dukungan pemerintah dan para stakeholder, tentunya sangat diperlukan. Dengan cara memberikan kesempatan dan berpihak pada perusahaan milik sendiri.***

Senin, 09 Maret 2009

Sanggupkah Pertamina Berkelas Dunia

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Setiawan bertekad menjadikan perusahaan Minyak dan Gas bumi (Migas) ini berkelas dunia. Keinginan berkelas dunia bukan kali ini disuarakan. Dirut sebelumnya, Ari Soemarno sering menyuarakan keinginan serupa. Sanggupkah Pertamina mewujudkan ambisinya.

Melihat status Pertamina saat ini sebagai Perseroan Terbatas (PT), keinginan ini sangat mungkin dapat diwujudkan. Sedangkan sebelumnya, ketika Pertamina diatur oleh Undang-Undang No. 8 tahun 1971 (UU Pertamina), keberadaannya lebih banyak untuk melayani rakyat.

Pasal 5 UU ini menyebutkan, Tujuan Perusahaan adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan Migas dalam arti seluas-luasnya untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat dan Negara serta menciptakan Ketahanan Nasional. Sedangkan Tugas Perusahaan disebutkan, melaksanakan pengusahaan Migas dengan memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran Rakyat dan Negara. Juga menyediakan dan melayani kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan gas bumi untuk dalam negeri yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah (pasal 13).

Itulah sebabnya, Pertamina lebih kuat di sektor hilir (pengolahan dan perdagangan BBM) ketimbang sektor hulu (eksplorasi dan produksi minyak mentah). Pertamina memiliki 7 (tujuh) kilang BBM dengan kapasitas hampir 1 juta bph (barrel per hari). Lebih dari seratus Depot penyimpanan BBM tersedia di banyak daerah, agar bisa mensuplai seluruh kawasan.

Sedangkan produksi minyak mentah hanya sekitar 130 ribu bph. Bagaimana produksi bisa besar, kalau lapangan eksplorasi yang dikelola merupakan lapangan tua yang umumnya tinggalan Belanda. Tentu saja biaya operasi tinggi, hasil produksi rendah karena sudah melewati masa puncak produksi dan memasuki masa penurunan.

Keberadaan Pertamina saat itu, terasa sekali sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk melayani rakyat. Maka pantas Pertamina dibebani memberikan setoran kepada Kas Negara dalam jumlah cukup besar. Perusahaan harus menyetor enam puluh persen dari perimaan bersih usaha (net operating income) atas hasil operasi perusahaan. Hasil bersih usaha atas hasil Kontrak Production Sharing, juga dikenakan pungutan enam puluh persen.

Bukan hanya itu, sisa hasil bersih (40%) masih dikenai pungutan lagi, berupa deviden sebesar 50%. Hitung-hitung, Pertamina hanya menikmati sisa laba sebesar 20% {(100% - 60% - (50% dari 40%)}.

Ada hal lainnya yang tidak menguntungkan Pertamina, yaitu sistim operasi penyediaan BBM bersubsidi dalam negeri. Polanya adalah Cost and Fee. Berapapun besar biaya operasi dalam menyediakan BBM diganti sepenuhnya oleh pemerintah. Pertamina mendapat upah kecil sebesar US $ 0.5 per barrel, masing-masing untuk mengolah dan mendistribusikan BBM. Jika kurs US $ 1 = Rp. 12.000, maka upah mengolah dan mendistribusikan BBM masing-masing Rp. 37 per liter (1 barrel = 158,9 liter)

Pola ini tidak mendidik, karena semua biaya diganti, maka tidak mendorong untuk beroperasi semakin efisien. Disisi lain, bagian keuntungan dan sisa laba yang terlalu sedikit menyulitkan perusahaan untuk mengembangkan usaha.

KESEMPATAN TERBUKA.

UU Pertamina sudah berakhir kini berganti dengan UU no 22 tahun 2001 (tentang Minyak dan Gas Bumi). Aturan baru ini membuka peluang Pertamina untuk lebih berkembang. Kini Tujuan Pertamina adalah mengusahakan keuntungan berdasakan prinsip pengelolaan perusahaan secara efektif dan efisien. Namun, tetap diminta memberikan kontribusi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

UU baru ini juga membolehkan Pertamina menyelenggarakan usaha dibidang Migas baik di dalam maupun di luar negeri serta kegiatan usaha lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang Migas tersebut.

Sedangkan penyediaan BBM di seluruh wilayah RI, tidak lagi sepenuhnya tugas Pertamina kini sudah menjadi tugas Pemerintah. Adapun pelaksanannya dilakukan oleh Badan Usaha (bisa oleh Pertamina ataupun perusahaan lain) setelah mendapat izin usaha dari Pemerintah.

Pola penyediaan BBM bersubsidi dalam negeri juga berubah. Kini diberlakukan sistim MOPS (Mid Oil Plats Singapore)+ Alpha. Harga BBM bersubsidi yang dijual ke masyarakat, ditentukan berdasarkan harga pasar internasional (Singapura), ditambah Alpha sekian prosen sebagai biaya distribusi dan keuntungan Pertamina. Pola ini cukup menantang Pertamina untuk beroperasi lebih efisien. Jika Pertamina menyediakan BBM lebih mahal dari harga pasar, tentu saja perusahaan merugi. Inilah yang mendorong perusahaan mencari berbagai upaya terobosan agar perusahaan tetap bertahan dan tumbuh berkembang.

DIBELENGGU

Menurut aturan dan sebagaimana layaknya suatu perusahaan, Pertamina hanya melakukan kegiatan usaha yang memberikan keuntungan. Namun, pada kenyatannya Pertamina masih sering ‘dipaksa’ merugi. Setiap kali Pertamina mengusulkan kenaikan LPG, selalu dihalang-halangi malah diminta memperbaki infrastuktur terlebih dahulu. Padahal harga pokok LPG dibawah harga pasar. Selisih harga tidak ditanggung pemerintah sebagai subsidi, melainkan ditanggung sendiri oleh Pertamina sebagai kerugian.

Berjualan BBM bersubsidi pun berpotensi merugikan Pertamina. Pada mulanya Pertamina meminta Alpha sebesar 14%, nyatanya hanya diberi 8%.
Dirut Pertamina sebelumnya, Air Soemarno penah berkeluh kesah mengenai hal ini. Ia mengatakan, selama ini posisi Pertamina kurang menguntungkan karena meskipun aspek regulasi formal sudah cukup mendukung tetapi dalam implementasinya kurang mendukung BUMN migas itu.

Ari memberi contoh, Pertamina mendapatkan tugas mendistribusikan BBM bersubsidi dengan margin ditekan di luar batas yang wajar. "Kami siap melaksanakan tugas mendistribusikan BBM, namun wajib mendapatkan keuntungan yang wajar, jangan margin ditekan serendah-rendahnya dengan alasan efisiensi," katanya.

Dikatakannya, Pertamina siap diaudit jika tidak percaya bahwa biaya distribusi sudah wajar. Bahkan ia menjamin biaya distribusi Pertamina tidak lebih mahal dari negeri tetangga Malaysia, padahal jangkauannya lebih sulit karena berpulau-pulau dan pedalaman.

Ibarat melepas Pertamina ke arena perdagangan bebas, kaki-kakinya masih dibelenggu dan diikat dengan pemberat.***

Selasa, 03 Maret 2009

Pertamina vs DPR, win-win

Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara PT Pertamina (Persero) dengan DPR RI Komisi VII tanggal 10 Pebruari lalu berlanjut masalah. Sebagian anggota dewan menanyakan pengangkatan Karen Agustiawan sebagai Dirut. Bahkan anggota Dewan Effendi Simbolon menyamakan Karen layaknya satpam.

Atas perlakuan yang tak mengenakkan ini, Sekretaris Perseroan (Sekper) Pertamina, Toharso melayangkan surat kepada Komisi VII. Sekper menyatakan kecewa atas jalanya RDP dan mengajukan keberatan atas perlakuan DPR. Toharso menginginkan, agar rapat DPR menyesuaikan aturan, fokus – tidak melebar kemana-mana.

Toharso bisa merasakan kalau Direksi tak suka diperlakukan ’semena-mena’ oleh DPR. Dirut sebelumnya, Ari Soemarno sering mengemukakan susahnya berhadapan dengan DPR. Pada berbagai kesempaan, Dirut mengatakan, bahwa salah satu tantangan Pertamina saat ini adalah semakin banyak Stakeholder yang harus dihadapi. Salah satunya, ya DPR itu. Bukan hanya dengan Komisi ESDM, tetapi dengan Komisi BUMN dan juga Komisi Anggaran.

Rapat dengan DPR sering menyita waktu, menghabiskan energi dan sering diperlakukan layaknya terdakwa. Ini sering dikemukan kepada lingkungan internal perusahaan, agar para pejabat dan pekerja memahami kondisi yang sedang dihadapi perusahaan dan memacu meningkatkan kinerja.

Saat Ari sebagai Dirut, Toharso sebagai Kepala Divisi Komunikasi. Ia tentu tahu apa yang dirasakan Direksi. Hanya saja, ia tak mempunyai kewenangan berhadapan dengan DPR. Kini setelah menjabat sebagai Sekper, ia merasa berwenang melayangkan surat protes kepada DPR.

Toharso tergolong sukses kariernya dan cepat naik pangkat. Boleh jadi sukses ini didukung pribadinya yang cepat dan berani bertindak, tidak peragu dan percaya diri. Ia cepat mengkalkulasi untung – rugi dan resiko tindaknya yang diputuskan.

Sementara itu, DPR yang merasa sebagai lembaga terhormat, tidak bisa terima kehormatannya diusik, apalagi oleh Sekper yang dianggap bukan petinggi perusahaan. Maka teror dan ancaman ditebar. Meminta agar Direksi yang baru saja dilantik digantikan orang lain, karena dianggap Pertamina tidak bisa diajak kerjasama.

Win - win.
Agar masalah tidak berlarut, diselenggarakan pertemuan klarifikasi (23/2) tidak hanya dihadiri Direksi Pertamina, juga Komisaris Pertamina dan Departemen ESDM. Setelah Dirut Pertamina dengan suara lembut menyampaikan permohonan maaf dan mencabut surat Sekper maka sikap DPR melunak.

Sebagai sebuah BUMN tentu saja Pertamina tidak ada maksud dan tidak akan pernah melecehkan DPR. Hanya saja, selama ini Pertamina merasa banyak direpotkan oleh DPR pada berbagai pertemuan dan kunjungan ke daerah.

Pada suatu ketika, DPR berkunjung ke Pertamina Dumai. Di kota ini terdapat pabrik pengolahan minyak mentah menjadi Bahan Bakar Minyak. Selaku tuan rumah.
Manajemen Unit Pengolahan Pertamina yang ada di kota ini berusaha bertindak sebaik mungkin. General Manajer dan seluruh jajaran Pengolahan dihadirkan pada pertemuan ini. Kepala Cabang Pemasaran Dumai ikut hadir. General Manajer Pemasaran yang berkedudukan di Medan tidak hadir, karena tujuan kunjungan adalah Unit Pengolahan Dumai.

Pertemuan berjalan lancar. Keperluan DPR untuk mendapat informasi berkaitan dengan perminyakan di Dumai, dapat dipenuhi. Namun, karena GM Pemasaran tidak hadir, maka DPR tidak bisa terima. DPR melayangkan surat kepada Dirut Pertamina, karena GM Pemasaran absen.

Disamping itu, kunjungan ke Pertamina di daerah lebih banyak merepotkan dibanding hasil yang diperoleh. Daftar pertanyaan yang diajukan sepertinya ’copy paste’, sebagian besar pertanyaan merupakan kebijakan Pertamina Pusat. Pantas saja, pertamina di Daerah tidak bisa menjawab. Padahal menerima kunjungan cukup merepotkan. Harus menguruskan perjalanan dan akomodasi dan berbagai keperluan lain.

Adanya surat Sekper yang cukup berani ini, setidaknya mengingatkan lembaga tinggi ini agar tidak ’semena-mena’. Pada pertemuan klarifikasi, beberapa anggota Komisi VII merasa perlu mawas diri atas kejadian ini. Hendarso Hadipramono dari FPDIP, merasa malu ada masalah seperti ini. ”Saya melihat ada kemauan dari Pertamina untuk menyelesaikan persoalan dengan Komisi VII. Saya kira kita semua di Komisi ini ingin selesai, malu kita ada masalah seperti ini”, katanya.

Anggota Komisi VII lainnya, Royani Haminullah mengatakan, persoalan ini dianggap selesai dengan pencabutan surat oleh Pertamina. Namun diingatkan, kejadian ini harus menjadi bahan koreksi di internal DPR.

Anggota komisi VII Nazaruddin Keimas mengatakan, seluruh anggota Komisi VII harus mawas diri mengapa Pertamina sampai mengirimkan surat pernyataan kecewa ”Ini warning bagi kita semua. Jadi sebelum Bu Karen berlapang dada meminta maaf, kita juga harus introspeksi hal-hal yang memungkinkan timbulkan kejadian seperti ini, terangnya.
Wakil Ketua Komisi VII Sutan Bhatougana menegaskan, pernyataan klarifikasi Pertamina sudah cukup. Yang lebih substansial, forum RDP ke depan harus lebih efektif. ”Ini pelajaran bagi kita bersama”, ujarnya.

Pertamina lega, keinginan diperlukan sebagai mitra yang sejajar akhirnya didengar. DPR juga tidak kehilangan ’kehormatannya’, karena Pertamina mencabut suratnya.***