Selasa, 10 November 2009

PENGOPLOSAN BAHAN BAKAR AKAN TERUS BERLANGSUNG

Harga elpiji tabung 12 kg dan 50 kg naik Rp. 100 per kg, dari semula Rp. 5.250 menjadi Rp. 5.350. Sedangkan elpiji tabung 3 kg tidak mengalami kenaikan karena komoditas ini masih mendapat subsidi dari pemerintah. Maka, perbedaan harga elpiji tabung 12 kg dengan 3 kg semakin besar.

Adanya kenaikan harga ini, terdengar kabar maraknya elpiji oplosan. Para pengoplos menemukan cara baru untuk mengeruk untung. Sebagian isi tabung ukuran 12 kg disedot sekitar 2 atau 3 kg, kemudian dimasukkan ke tabung ukuran 3 kg yang kosong. Agar aksinya tidak ketahuan, pengoplos memasukkan air atau angin, supaya berat kembali normal. Cara lain, pengoplos menyedot isi tabung 3 kg dan memasukkan ke dalam tabung 12 kg. Pelaku mendapat keuntungan karena menjual elpiji bersubsidi dengan harga non subsidi.

Menghadapi ulah nakal ini, Pertamina tak bisa banyak bertindak. Perusahaan perminyakan plat merah ini hanya bisa meminta polisi untuk mengejar para pelaku tindakan yang melanggar undang-undang ini. “Kami sedang mengevaluasi dampak kenaikan elpiji 12 kg di lapangan, termasuk masalah pengoplosan. Monitoring sudah dilakukan sejak harga elpiji non subsidi dinaikkan,” kata Deputi Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya.

Pengoplosan bahan bakar selalu saja terjadi. Kalau saat ini yang dioplos elpiji, sebelumnya yang dioplos adalah minyak tanah (kerosene) dengan solar. Minyak tanah yang biasa digunakan untuk menyalakan kompor oleh masyarakat, dipilih untuk dioplos karena harganya murah. Pantas, saat itu ibu-ibu rumah tangga sering mengeluh kesulitan mendapatkan minyak tanah. Kalau toh ada, harus mendapatkannya dengan antri. Bahkan sering harganya lebih mahal dari biasanya.

Walaupun pihak Pertamina sering mengatakan bahwa alokasi minyak tanah tidak dikurangi, namun kenyatannya bahan bakar ini sering hilang di pasaran. Pertamina tidak bisa sembarangan menambah alokasi minyak tanah, karena terikat dengan batas alokasi yang diijinkan sesuai persetujuan DPR RI. Ujung-ujungnya, masyarakat yang harus merasakan kesulitan untuk mendapatkan bahan bakar.

Adanya pengoplosan juga merugikan konsumen lain. Teman saya, seorang sopir angkutan mengatakan, selama ini dia biasa mengoplos solar dengan minyak tanah. “Saya biasa mencampur minyak tanah ke solar. Mesinnya oke-oke saja. Tak ada keluhan dari juragan pada mobilnya, katanya terus terang.

Ditambahkannya, jika tak mengoplos ia tak akan bisa membawa uang ke rumah. Pendapatannya hanya cukup untuk bayar setoran, beli bahan bakar dan makan. Jerih payah seharian tak ada sisa.

Pada suatu ketika, saya kedatangan seorang tamu teknisi pabrik. Ia mengeluh mesinnya sering rusak dan mencurigai kemungkinan solar yang digunakan merupakan oplosan. Setelah diperiksa di laboratorium untuk menilai kualitas solar, ternyata memang ada penurunan kualitas solar namun masih dalam batas spesifikasi. Menurut penjelasan dari petugas laboratorium, kualitas solar hasil olahan kilang Pertamina cukup bagus. Jika solar dioplos dengan minyak tanah tak sampai 20 persen, memang ada penurunan kualitas namun masih dalam spesifikasi.

Pada kesempatan lain, petugas kepolisian pernah menangkap seseorang yang diduga mengoplos solar dan menyitanya untuk diperiksa. Ternyata, hasil laboratorium tidak mendukung temuannya dibawah ke pengadilan, karena solar masih sesuai spesifikasi.

Begitulah, selama ada perbedaan harga bahan bakar maka pengoplosan akan terus berlangsung. Berbagai macam cara digunakan, agar aksinya tak mudah ketahuan (chusnul busro).***