Kamis, 08 Oktober 2009

Semenjak Dulu Pertamina Ingin Mengoperasikan Blok Cepu

Ketika produksi minyak mentah kita cenderung menurun, sedangkan kebutuhan minyak terus bertambah maka tambahan produksi dari lapangan baru seperti blok Cepu sungguh sangat diharapkan.

Kenyatannya jauh dari yang diharapkan. Produksi awal (early production) 20 ribu bph (barel per hari) ditargetkan pada Desember 2008. Namun, jadual ini dimundurkan menjadi Februari 2009, bahkan mundur lagi menjadi Juni 2009. Barulah pada akhir Agustus 2009 produksi mulai dilakukan, itupun hanya sebesar 2.000 bph..

Akibat molornya jadual produksi, Negara kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp. 1,5 triliun setiap hari. Angka ini berdasarkan produksi 20.000 barel per hari dengan harga minyak US $ 50 per barel.

Wakil rakyat tidak puas dengan kinerja Exxon Mobil. Anggota Komisi VII DPR Alvin Lie mengatakan, Mobil Cepu Limited (MCL) telah gagal memenuhi target pemerintah. MCL sudah molor delapan bulan dan hasilnya juga belum maksimal 20 ribu bph. Komisi VII DPR yang membawahkan bidang energi dan sumber daya mineral juga tidak yakin Exxon bisa menepati janji mencapai produksi 165 ribu bph pada Maret 2013 nanti.

Komisi VII meminta agar pemerintah meninjau ulang perjanjian pengelolaan Blok Cepu. Pemerintah dinilai terlalu toleran kepada Exxon. Pemerintah juga akan diminta penjelasan mengapa menunjuk Exxon bukan Pertamina. Bukan hanya itu, DPR juga menyoroti banyaknya tenaga asing di MCL, yang gajinya mengacu pada standar dolar. Saat ini jumlahnya 120 orang, bahkan bisa bertambah karena ada yang belum terdaftar.

Pemerintah menilai kerja sama operasi atau Joint Operating Agreement (JoA) antara Pertamina dan Exxon Mobil Indonesia di blok Cepu merupakan JoA terburuk. Pertamina tidak memiliki peran dalam setiap pengambilan keputusan di proyek blok Cepu.Kepala BP Migas R.Priyono mengatakan, sebagai pemilik 45 persen saham, seharusnya Pertamina juga diperhitungkan dalam setiap keputusan yang dibuat Exdxon Mobil sebagai operator.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan setuju dengan penilaian pemerintah. Dia mengakui, selama ini Pertamina memang kurang dilibatkan dalam setiap keputusan yang diambil di blok Cepu lantaran bukan pemiliki saham mayoritas. “Saya lihat JoA untuk pengambilan keputusan memang agak pincang karena untuk bisa memiliki posisi dalam pengambilan keputusan harus memiliki saham minimal 65 persen. Kami baru memiliki 45 persen, apabila ditambah BUMD hanya sekitar 55 persen,” katanya.

Atas keterlembatan ini pemerintah membentuk tim PeningkatanPercepatan Produksi Migas (P3M). Tim yang beranggotakan 11 orang ini bertugas menyelidiki keterlambaan produksi minyak Cepu oleh Exxon Mobil. Tim akan mengumumkan apa penyebab keterlambatan produksi.

PT Pertamina (Persero) yang selama ini tidak banyak berperan pada blok Cepu mulai berani menyatakan siap menggeser Mobil Cepu Limited (MCL. Perusahaan BUMN ini melayangkan surat ke BP Migas meminta untuk segera menyembatani permintaan perseroan supaya JoA direvisi. Selain itu, Pertamina menyatakan siap menjadi operatorship Cepu menggeser MCL.

Vice Presiden Communication PT Pertamina (Persero) Basuki Trikora Putra mengatakan jika Pertamina menjadi operator Cepu, pihaknya akan mampu membuat blok Cepu memproduksi minyak 160 ribu bph pada Maret 2010. “Kami punya sumber daya manusia (SDM), finance, teknologi dan pengalaman di lapangan,” tegasnya.

Ucapan Basuki didukung fakta bahwa Pertamina saat ini megembangkan lapangan di luar negeri, seperti di blok SK 305 Serawak Malaysia, blok 10/11.2 Vietnam, blok 17.3 Sabratah Libya, blok 3 Qatar, blok 13 offshore Sudan dan blok Western Dessert Irak

Sementara itu Direktur Utama PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (EP) Salis S.Aprilian menegaskan apabila pihaknya menjadi operator maka biaya investasi bisa lebih rendah sekitar 50 persen. Dia mencotohkan untuk mengebor satu sumur di lapangan Sukowati di blok Tuban, Pertamina mengalokasikan dana sekitar USD 5-6 juta.

Sedangkan untuk mengebor satu sumur di lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, MCL menganggarkan sekitar USD 12-15 juta. ”Biaya investasi untuk eksplorasi sumur yang ada di pulau Jawa rata-rata sama, tidak jauh berbeda. Lagi pula Banyu Urip dan Sukowati wilayahnya berdekatan,” katanya.

Bagi Pertamina,.keinginan mengoperasikan blok Cepu sebenarnya merupakan keinginan lama, semenjak Widya Purnama menjabat Dirut Pertamina. Saat itu, pembahasan JoA sangat alot karena Widya ngotot ingin menjadi operator. Di saat pembahasan tidak juga selesai, tiba-tiba Widya Purnama diganti oleh Ari Soemarno. Ketika berganti Dirut itulah, perjanjian JoA antara Pertamina dan Exxdon Mobil segera ditandatangani.

Berhasilkah Pertamina mewujudkan keinginan lama menjadi operator blok Cepu. Kita tunggu hasilnya (chusnul busro).***

Rabu, 07 Oktober 2009

Pertamina Ketemu Lawan.

Hingga saat ini Pertamina masih satu-satunya perusahaan yang mendistribusikan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi seperti minyak tanah untuk masyarakat, premium dan solar untuk kendaraan bermotor. Namun pada tahun 2010 nanti, setidaknya ada empat perusahaan yang menjalankan pelayanan publik ini (PSO / Public Service Obligation). Keempat perusahaan itu adalah PT Pertamina (Persero), PT Shell Indonesia, PT Petronas dan PT AKR Corporation. Kalau selama ini SPBU Shell dan Petronas hanya menjual BBM non subsidi (sejenis Pertamax dan Solar Dex), dimungkinkan juga akan menjual Premium dan Solar subsidi.

Penetapan ini diawali dengan pertemuan umum atau public hearing antara Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dengan 30 badan usaha. Public hearing diadakan sebagai sosialisasi peraturan baru, sebagai awal proses penunjukan langsung badan usaha yang akan mendistribusikan BBM PSO.

Dari perusahaan yang hadir, ternyata ada 10 perusahaan yang berminat mengikuti tender tersebut, yaitu PT Medco Sarana Kalibaru, PT Aneka Kimia Raya (AKR) Corporation Tbk, PT Bumi Asri Prima Pratama (BAPP), PT Patra Niaga, PT Pertamina (Persero), PT Petro Andalan Nusantara, PT Petrobas, PT Petronas Niaga Indonesia, PT Shell Indnesia dan PT Total Oil Indonesia.

Tender semacam ini sudah dilakukan BPH Migas beberapa kali pada tahun-tahun sebelumnya. Karena tidak ada perusahaan yang dinilai memenuhi persyaratan, maka saat itu hanya Pertamina yang ditetapkan sebagai satu-satunya penyedia BBM PSO dalam negeri.

Setelah dilakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen dan verifikasi lapangan, BPH Migas menetapkan keempat perusahaan tadi sebagai pemenang tender. Nantinya, pemenang tender akan mendistribusikan BBM bersubsidi tahun 2010 dengan besaran biaya distribusi dan keuntungan (alpha) yang disepakati Panitia Anggaran DPR.

Dalam draft APBN 2010, volume kuota BBM bersubsidi yang akan didistribusikan tahun 2010 sebanyak 36.504.779 kiloliter (KL), dengan rincian premium 21.454.104 KL, solar 11.250.675 KL dan minyak tanah 3.800.000 KL.

Semenjak awal, Pertamina menyadari kalau suatu saat akan ketemu lawan dalam mendistribusikan BBM subsidi. Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) menetapkan bahwa kegiatan hulu (eksplorasi dan produksi) dan kegiatan hilir (pengolahan, perdagangan dan pengangkutan) dapat dilakukan oleh semua perusahaan yang mempunyai kemampuan.

Walaupun Pertamina lebih dahulu memiliki sarana dan fasilitas distribusi BBM di seluruh nusantara, tetap saja dibuka peluang agar ada pihak lain yang bisa bersaing dengan Pertamina. Pasal 27 UU Migas mengatur, bahwa pada daerah-daerah terpencil, fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan termasuk fasilitas penunjangnya, dapat dimanfaatkan bersama pihak lain. Pelaksanaan pemanfaatan fasilitas diatur oleh Badan Pengatur dengan tetap mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis.

Dengan kata lain, aturan ini mengharuskan fasilitas Pertamina dibolehkan digunakan pihak lain. Yang mempunyai fasilitas di daerah terpencil, kan hanya Pertamina. Sepertinya, Pertamina diharuskan mau mengasuh anak harimau. Walaupun ada kemungkinan si anak harimau menjadi besar dan memangsa pengasuhnya ‘Pertamina’.

Ketika Ari Soemarno menjabat Direktur Utama Pertamina mengatakan, bahwa Pertamina siap menghadapi persaingan dalam mendistribusikan BBM bersubsidi. Asalkan, katanya, perusahaan yang ia pimpin diperlakukan dengan adil. “Jangan Pertamina disuruh mendistribusikan di daerah pinggiran dan sulit yang omzetnya kecil dan biaya distribusi mahal. Sedangkan pihak lain diberikan kesempatan jualan di daerah gemuk dan ramai,” harapnya.

Mengenai fasilitas pengangkutan dan penyimpanan berlebih, Ari Soemarno tidak sependapat kalau sarana yang dimiliki Pertamina diharuskan digunakan oleh pihak lain. “Kami memang memiliki banyak fasilitas distribusi, namun tidak untuk digunakan pihak lain. Lagi pula, kami tidak menganggap fasilitas yang ada berlebih. Kalau toh ada fasilitas yang belum maksimal, itu kan sebagai cadangan”, katanya.

Penetapah harga BBM subsidi selama ini dilakukan berdasarkan harga pasar internasional (MOPS / Mid Oil Plat’s Singapura) ditambah alpha sebagai biaya distribusi dan keuntungan. Awalnya alpha yang diminta Pertamina sebesar 14%. Angka ini dinilai DPR terlalu tinggi, sedangkan Pertamina mengganggap angka ini pantas. Alasannya, di negara lain yang tingkat kesulitas distribusi seperti Indonesia menetapkan alpha sebesar itu. DPR memaksa agar alpha bisa turun agar tidak membebani keuangan negara.

Kalau semula pangsa BBM PSO seratus persen dikuasai oleh Pertamina, kini harus berbagi dengan perusahaan lain. Jika keempat perusahaan pemenang tender BBM PSO ini berlomba menurunkan alpha, maka pendatang baru akan banyak mendapat kesempatan mendistribusikan BBM untuk rakyat. Pertamina harus bisa membuktikan kalau dirinya sanggup menghadapi persaingan (chusnul busro).***