Senin, 29 Maret 2010

Masyarakat Ingin Bagian Langsung Migas

Pemerintah daerah (Pemda) mendapat bagian langsung dari hasil minyak dan gas bumi (migas) yang diproduksi dari sumur-sumur yang berada di daerahnya. Semakin banyak migas yang dikeluarkan dari perut bumi, semakin besar dana bagi hasil migas yang diperoleh. Dana ini tentunya dikembalikan kepada masyarakat, melalui pembangunan sarana dan penyediaan layanan bagi masyarakat.

Masyarakat juga ingin merasakan langsung rejeki minyak yang berasal dari daerahnya. Ketika ada kegiatan survei seismik, masyarakat minta ganti rugi atas penggunaan lahannya. Kegiatan ini berupa menanam beberapa peledak pada kedalaman dangkal, kemudian diledakkan dan dilakukan perekaman. Tujuannya untuk mendapatkan peta bebatuan di bawah tanah.

Ketika ada pembebasan tanah untuk proyek migas, harga tanah berlipat jauh melebih nilai jual obyek pajak (NJOP) ataupun harga pasar. Sering terjadi, proyek migas tak bisa selesai sesuai jadual karena terhambat negosiasi harga tanah. Begitu alotnya penyelesaian ganti rugi, kadangkala lokasi proyek (misal : jalur pipa)harus dipindahkan. Hanya saja, karena ulah makelar tanah, yang mendapatkan keuntungan besar bukan masyarakat pemilik tanah karena sudah dilepas sebelum ada proyek.

Adanya minyak di suatu daerah, sering tidak dirasa sebagai berkah oleh masyarakat. Mereka sering mempermasalahkan dampak adanya industri migas, seperti : suara bising, panas pembakaran gas buang, debu beterbangan, pencemaran gas dan masih banyak lagi.
Berebut mendapat kerja di migas, umumnya hanya ramai saat eksplorasi. Ketika memasuki masa produksi tidak memerlukan banyak tenaga, bahkan diutamakan tenaga kerja yang memiliki ketrampilan. Mana mungkin tenaga dengan kriteria semacam ini dipenuhi warga desa.

Tentu saja, ini senjata ampuh bagi masyarakat untuk menuntut ganti rugi. Seperti yang dilakukan warga desa Suci, Kecamatan Manyar Gresik. Mereka ramai-ramai menolak proyek eksplorasi sumur gas yang dikenal dengan nama Lengowagi-3. Alasannya, proyek sebelumnya yaitu Lengowangi-1, masih banyak menyimpan masalah yang belum diselesaikan.

Penolakan serupa juga terjadi di desa Campurejo, Bojonegoro. Warga menolak uji coba produksi (flare gas) sumur Sukowati yang dikelola Join Operating Body Pertamina – PetrroChina East Java (JOB P-PEJ). Warga khawatir tanah sekitar proyek menjadi tidak subur karena terkena panas dan adanya gas beracun. Warga menginginkan adanya kesepakatan, sebelum uji coba dilakukan.

Penolakan proyek migas di kedua daerah tadi, biasa dan sering terjadi di hampir semua tempat. Pada umumnya masyarakat ingin mendapatkan dana comdev (community development).

Seperti yang dituturkan warga di desa Suci Gresik, sesuai kesepakatan tahun 2006, warga mendapatkan jatah Rp. 500 juta per tahun. Namun, dana ini hanya diperoleh hingga tahun 2007 saja, tahun-tahun berikutnya tidak diperoleh lagi.

Pihak JOB P-PEJ mengaku tidak bermaksud menghambat pemberian dana. Pada mulanya, semua biaya eksplorasi termasuk juga dana comdev merupakan biaya yang bisa dimintakan ganti dan diperhitungkan dengan hasil migas (cost recovery).

Kontraktor Kerja Sama Migas, pada umumnya cukup ‘royal’ mengeluarkan dana comdev. Tujuannya, keberadaan proyek bisa diterima masyarakat dan kegiatan operasi lancar. Dana comdev sering diwujudkan dengan proyek-proyek yang langsung dirasakan manfaatnya, seperti pembuatan jalan desa dan berbagai sarana lainnya (jembatan, parit, balai desa dan lain-lain). Agar pilihan proyek lebih tepat, operator migas mendorong pemberdayaan masyarakat dan mendampinginya agar mereka bisa merencanakan yang terbaik untuk dirinya.

Walaupun mengeluarkan dana besar, perusahaan migas tidak mempermasalahkan karena biaya ini bisa mendapat penggantian sesuai sistim cost recovery. Dari 100 juta rupiah yang dikeluarkan, perusahaan hanya menanggung 15 juta sedangkan pemerintah menanggung 85 juta rupiah (bagi hasil migas umumnya 85 : 15).

Sesuai aturan baru, kini dana comdev sepenuhnya harus ditanggung oleh perusahaan migas dan tidak bisa dimintakan ganti ke pemerintah. Tentu saja perusahaan harus berhemat mengeluarkan dana comdev.

Dana comdev yang semula bisa dijadikan andalan untuk meredam berbagai masalah dengan masyarakat, kini tidak bisa lagi jadi andalan. Dampaknya, semakin sering timbul permasalahan yang tidak bisa diselesaikan, sehingga menghambat penyelesaian proyek migas.

Ternyata, walaupun pemerintah daerah bisa mengandalkan migas untuk mengisi APBN, masyarakat masih menginginkan manfaat langsung adanya industri migas.***

Kamis, 25 Maret 2010

Siap-Siap BBM Mahal

Pada tahun 2014 – 2015, atau setelah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berakhir, kita tidak bisa lagi menikmati Bahan Bakar Minyak (BBM) murah sebagaimana saat ini. Saat itu, pemerintah menerapkan harga keekonomian. Tujuannya, agar masyarakt lebih efisien menggunakan energi.

“Saya kira baik listrik dan BBM itu kita menuju harga keekonomian, kita harapkan pada 2014 dan 2015. Saat itu kita sudah sampai pada pemahaman bersama dan sudah dipraktikkan tentang harga keekonomian itu,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy.

Pemerintahan SBY pernah menaikkan harga BBM pada Juli 2008 lalu, setahun menjelang pemerintahan berakhir. Boleh jadi, hal serupa akan diulang pada 2015 nanti, sesaat sebelum pemerintahannya berakhir.

“Salah satu yang terpikir adalah bagaimana kita mendidik masyarakat, termasuk yang tidak mampu, agar memahami harga keekonomian. Kalau harganya mahal, dia akan hemat,” kata mantan ekonomin dari Partai Demokrat itu.

Manurutnya, walau harga keekonomian sudah diterapkan, pemerintah tetap memperhatikan masyarakat miskin. Caranya, memberikan subsidi langsung. Seperti menggunakan kartu fasilitas (smart card) sebagaimana yang sedang diuji cobakan di Pulau Bintan dan Batam.

Yang jelas, harga BBM jenis premium dan solar tidak lagi sebesar Rp. 4.500, seperti yang kita dapati di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) selama ini.

Kita bisa menghitung berapa pantasnya harga keekonomian BBM. Kita mulai dari melihat harga minyak mentah (crude) saat ini dikisaran US $ 80 per barrel. Nilai US $ 1 setara dengan Rp. 9.120. Jadi harga crude per barrel Rp. 729.600 (80 X 9.120). Sedangkan 1 barrel setara dengan 158,9 liter. Maka harga crude 1 liter adalah Rp. 4.591 (729.600 : 158,9).

Harga dikisaran Rp. 4.600 itu hanya nilai crude saja. Jika minyak mentah ini diperoleh dari Timur Tengah, tentu saja ditambah ongkos pengapalan hingga ke tempat pengolahan (kilang). Sesampai di kilang minyak , dilakukan proses pengolahan hingga menjadi BBM yang siap dikonsumsi. Setelah minyak mentah menjadi BBM, selanjutnya BBM dikirim ke Depot penyimpanan yang berada di berbagai tempat. Barulah setelah itu, BBM dikirim ke konsumen melalui SPBU atau langsung ke konsumen.

Perjalanan panjang aliran BBM, tentunya memerlukan angkutan laut dan darat sehingga ada komponen biaya transportasi. Disamping itu, setiap kali pengangkutan dan penyimpanan BBM ada resiko hilang karena penguapan (losses), jumlah yang bisa ditolerir sebesar 0,5%.

Jadi berapa pantasnya harga keekonomian BBM. Setidaknya bisa dilihat dari harga yang ditetapkan Pertamina setiap tanggal 1 dan 15. Seperti penetapan harga pada pertengahan Maret lalu, harga BBM jenis Pertamax Rp. 7.000 hingga Rp. 9.400, Pertamina Dex (sejenis solar) Rp. 7.400.***