Rabu, 16 September 2009

Repotnya Menggunakan Gas Bumi

Bumi pertiwi dikarunia Allah sumber daya alam yang banyak diantaranya gas bumi, baik berupa gas ikutan yang terangkat bersama-sama minyak bumi maupun yang berasal dari sumur-sumur yang ditemukan di ladang gas.

Untuk memanfaatkan gas bumi, semenjak tahun 1977 Indonesia memasuki era baru dengan mengekspor untuk pertama kalinya LNG. LNG adalah bahan enerji bersih, yang diekspor dalam bentuk cair dan dikenal dengan nama Liquefied Natural Gas. Itulah yang mengantarkan Indonesia menjadi negara produsen utama LNG.

Sedangkan pemanfaatan dalam negeri diantaranya untuk pabrik pupuk Kaltim di Bontang dan Palembang (Sriwijaya), Polyprophylene Plaju dan Carbon Black Plant Rantau. Beberapa industri kemudian juga memerlukan gas bumi, baik sebagai bahan baku maupun untuk bahan bakar. Beberapa pemakai gas diantaranya Pabrik Baja Krakatau Steel, PT PLN, PT PGN dan industri lainnya mulai memanfaatkan gas untuk berbagai keperluan.

Pada mulanya, gas bumi lebih banyak diolah menjadi LNG di Kilang LNG Bontang dan Arun untuk ekspor ke Jepang, Korea dan Taiwan. Ketika produksi minyak mentah dalam negeri terus menurun sedangkan konsumsi terus meningkat, mulai muncul keinginan untuk memaksimalkan pemanfaatan gas bumi.

Untuk bisa menyalurkan gas ke konsumen secara cepat dan aman diperlukan jaringan pipa gas sebagaimana di Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Jawa Timur. Namun, jaringan pipa tak mungkin dibangun jika ada hambatan jarak yang jauh karena dipisahkan oleh lautan ataupun hambatan geografis lainnya.

Untuk jarak yang jauh, gas bumi hanya bisa dikirimkan menggunakan kapal tanker khusus dalam bentuk LNG. Mengubah gas alam menjadi LNG diawali dengan menghilangkan unsur tak diperlukan seperti CO2 dan H2S yang terkandung dalam gas. Untuk menghindari pembekuan di dalam LNG maka kadar air dari gas alam yang masuk harus diturunkan sampai kurang dari 1 ppm. Sesudah memisahkan air dan sebelum gas ini dicairkan maka dilakukan pendinginan tahap pertama. Selanjutnya sebagai tahap akhir gas alam didinginkan dan dicairkan di dalam main heat exchanger sehingga gas menjadi cair, dan pendinginan harus berjalan seterusnya sebelum dimasukkan ke dalam tangki penyimpanan.

Barulah setelah itu LNG siap dikirimkan ke pelabuhan tujuan mengunakan kapal tanker khusus untuk disimpan dalam tanki-tanki yang diisolasi secara khusus. Setelah itu dengan proses regasifikasi, LNG dikembalikan kepada bentuknya yang asli dan kemudian dialirkan kepada para konsumen. Maka pengiriman gas bumi menjadi rumit dan berbiaya tinggi.

Kerepotan itulah yang dialami ketika hendak menggunakan gas bumi berasal dari ladang Donggi – Senoro Sulawesi Tengah untuk dalam negeri. Calon konsumen yaitu PT PLN, PT PGN dan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) keberatan dengan harga gas yang ditawarkan oleh pengelola ladang PT Pertamina (Persero) dan PT Medco E&P.

Harga LNG sampai di Jawa sebesar US $ 12,16 per MMBTU ( Million Matrix British Termal Unit). Harga ini meliputi harga gas di mulut sumur US $ 6,16 per MMBTU, biaya menjadikan LNG US $ 3 per MMBTU, biaya angkut ke Jawa US $ 2 per MMBTU dan regasifikasi US $ 1 per MMBTU.

PT PGN menilai harga gas ini terlalu mahal. Direktur Utama PT PG Hendi Priyo Santoso mengatakan, pihaknya akan kesulitan jika harga pembelian lebih tinggi dari harga gas selama ini. “Apabila gas diubah dalam bentuk LNG, kemungkinan kami tidak akan membelinya. Tetapi masih ada peluang pembelian jika kami bisa kembangkan jaringan distribusi disana”, katanya.

PT PLN juga mengeluhkan tinginya harga gas Senoro. Direktur Utama PT PLN Fahmi Mochtar mengatakan, PLN hanya akan membeli jika pihaknya membangun pembangkit di sekitar mulut ladang gas. Sebab, jika gas tersebut dibawa ke Jawa dalam bentuk LNG harganya menjadi tidak ekonomis.

PT PIM juga ikut keberatan dengan harga gas Senoro. Direktur Utama PT PIM Mashudianto mengatakan, hingga 2011 pihaknya akan fokus untuk mendapatkan gas dari ladang Tangguh di Papua Barat. Menurutnya, harga gas Tangguh memiliki tingkat keekonomian yang bagus dibandingkan gas Senoro. “Harga bahan baku adalah alasan utama karena akan sangat mempengaruhi kinerja, biaya perusahaan, harga jual dan perolehan laba perusahaan,” terangnya.

Kerepotannya bukan hanya untuk mendapatkan konsumen dalam negeri. Namun, juga pada pembangunan kilang LNG di Donggi Senoro. PT Pertamina dan PT Medco tidak sanggup menyediakan dana sendiri Rp. 37 triliun untuk membangun kilang LNG. Harapannya, mitra usaha seperti Kansai Electric Power ikut mendanai proyek besar ini. Karena tidak mendapat kepastian bisa membeli LNG Donggi, perusahaan listrik asal Jepang ini mengundurkan diri sebagai mitra usaha. Memang, gas Donggi diprioritaskan untuk pembeli dalam negeri. Nyatanya, repot juga untuk bisa menggunakan gas sendiri (chusnul busro).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar